Selasa, 10 Februari 2009

PENELITIAN KUALITATIF

Penelitian kualitatif (termasuk penelitian historis dan deskriptif) adalah penelitian yang tidak menggunakan model-model matematik, statistik atau komputer. Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan argumentasi. Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. Penelitian kualitatif banyak diterapkan dalam penelitian historis atau deskriptif.
Tujuan :
Memahami, menginterpretasi bagaimana
responden dalam lingkungan sosialnya
membentuk dunia di sekeliling mereka
Deskripsi suatu fenomena
Arti / interpretasi fenomena tersebut
Teori berdasarkan interpretasi

POSISI TEORI DALAM METODE KUALITATIF

Dalam penelitian kualitatif, teori yang sudah ada memiliki kegunaan yang cukup penting. Tidak seperti dalam penelitian kuantitatif, di mana teori yang ada menjadi senteral dan menjadi dasar pengembangan ilmu melalui penelitian, teori dalam penelitian kualitatif digunakan secara lebih longgar. Pada umumnya teori itu berguna bagi penelitian kualitatif sebagai sumber insfirasi dan pembanding.
Posisi teori terdahulu pada pendekatan kualitatif harus diletakkan sesuai dengan maksud penelitian yang dikerjakan. Pertama, untuk penelitian yang bermaksud menemukan teori dari dasar, paling tidak ada tiga aspek fungsi teori yang dapat dimanfatkan; (a) Konsep-konsep yang ditemukan pada teori terdahulu dapat "dipinjam" sementara (sampai ditemukan konsep yang sebenarnya dari kancah) untuk merumuskan masalah, membangun kerangka berpikir, dan menyusun bahan wawancara; (b) Ketika peneliti sudah menemukan kategori-kategori dari data yang dikumpulkan, ia perlu memeriksa apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya. Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang kategori tersebut. Hal ini dilakukan hanya untuk perbandingan saja, bukan untuk mengikutinya; dan (c) Proposisi teoritik yang ditemukan dalam penelitian kualitatif (yang memiliki hubungan dengan teori yang sudah dikenal) merupakan sumbangan baru untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan baru itu.
Kedua, untuk penelitian yang bermaksud memperluas teori yang sudah ada, teori tersebut bermanfaat bagi peneliti pada tiga hal berikut; (a) Penelitian dapat dimulai dari teori terdahulu tersebut dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati data. Namun demikian, penelitian yang sekarang harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian dapat dengan bebas memilih data yang dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi; (b) Teori yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi pedoman dalam pengamatan/wawancara untuk mengumpul data awal; dan (c) Jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan teori yang ada.
PENELITIAN KUANTITATIF


1. Aplikasi Statistika dalam Penelitian Kuantitatif

Salah satu metode kuantitatif yang banyak digunakan untuk analisis data adalah dengan menggunakan statistika. Namun sayangnya, materi-materi statistika yang diajarkan di universitas dan buku-buku statistika yang kita jumpai hanya membahas tentang statistika saja tanpa menghubungkannya dengan penelitian. Hal ini saya alami sendiri, waktu memperoleh materi Statistika I dan II semasa masih lugu dahulu, yang diajarkan adalah bagaimana menghitung mean, median, modus, menguji hipotesis dengan t-test, F-test, anova, dan sebagainya. Perhatikan bahwa yang diajarkan adalah "bagaimana menghitung" bukannya "bagaimana manfaat semua itu, bagaimana kaitannya dengan hal lain". Mudah-mudahan hal tersebut cuma dialami oleh saya saja yang mungkin tidak menyimak, karena tertidur ataupun mengantuk di kelas. :)
Luar biasa gawatnya terjadi ketika harus melakukan penelitian kuantitatif dengan menggunakan statistika. Karena tidak paham secara integratif metode statistika untuk penelitian, maka banyak waktu yang terbuang hanya untuk mencari-cari referensi tentang hal tersebut, yang tentu saja sulit ditemui di perpustakaan ataupun toko-toko buku yang hanya menjual buku-buku praktis misalnya saya menjumpai sebuah buku SPSS yang hanya mengajarkan cara menjalankan program SPSS, cara memasukkan data ke sana, menyimpannya, dan lain-lain hal yang bisa dibaca langsung di manual SPSS. Aneh bin ajaib.
(http://tedi.heriyanto.net/papers/aplikasi-stat.html)

2. Hakikat Hipotesis Dalam Penelitian Kuantitatif

Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial.
Dalam penelitian kuantitatif dirumuskan masalah sebagai berikut, apakah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan, maka rumusan hipotesis penelitiannya adalah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan. Namun hipotesis penelitian ini masih ngambang karena tidak secara tegas menyatakan hubungan apa, positif atau berbanding lurus ataukah negatif atau berbanding terbalik, tergantung teorinya. Kalau teorinya menemukan bahwa makin kuat motivasi kerja karyawan maka makin tinggi produktivitasnya maka hipotesis dinyatakan terdapat hubungan positif, kecuali variabel bebas yang dipilih adalah stress, sehingga bentuk hubungannya menjadi hubungan berbanding terbalik dengan produktivitas karyawan.
Demikian juga bila masalah yang dirumuskan seperti apakah kecerdasan emosional berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan, sehingga hipotesisnya menjadi kecerdasan emosional berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan.
[Filed under: Metodologi Penelitian putrawan at 10:03 am on Monday, April 23, 2007 ( © Prof. Dr. I Made Putrawan, April 22, 2007 )]
LOGIKA DAN STATISTIKA SEBAGAI

SARANA BERPIKIR ILMIAH

Oleh : Hujair AH. Sanaky1
1Hujair AH. Sanaky, adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam, Jurusan Tarbiyah, Program Studi : Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Kepala Lembaga Pengabdian paada Masyarakat [LPM] UII 2004-2006 dan sekarang sedang studi lanjut di Program Doktor [Program S-3] Universitas Islam Negeri [UIN] Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun akademi 2005-2006.


A.
Pendahuluan
Tadi malam di rumah pak Pulanada pencuri dan Polisi segera diberitahukan. Komandan polisi yang dating memimpin pemeriksaaan, sebuah jendela belakang dibongkar oleh pencuri itu. Dari jendelah inilah mereka masuk piker Komandan. Dengan segera ia tahun, bahwa yang mencuri itu lebih dari satu, karena dilihatnya dua macam jejak di bawah jendela itu. Tahukah tuan, barang-barang apa yang dicuri, Tanya Komandan Polisi kepada pak Pulan, sebuah Radio, satu set Komputer jawab pak Pulan.
Dari cerita ini ada proses berpikir. Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang kita kehendaki. Menurut J.S.Suriasumantri22J.S.Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, 1997, hlm. 1 , manusia homo sapiens, makhluk yang berpkir. Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpkir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi.
Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia, untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. ...Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping rasa dan kehendak untuk mencapai kebaikan33Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberti, Yogyakarta, 1992, hlm. 67. . Dengan demikian, cirri utama dari berpkikir adalah adanya abstraksi. Maka dalam arti yang luas kita dapat mengatakan berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah meletakan atau mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi44M. Ngalim Puswanti, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, hlm. 44. [Pengertian abstrak, ialah pengertian yang memperlihatkan sifat tanpa memperlihatkan subjeknya. Misalnya : secara konkrit kita berkata : ia amat pandai, tetapi secara abstrak kita mengatakan: Kepandaiannya amat sangat. Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan pengertian yang abstrak itu ialah dengan menamba pada kata itu awalan ke dan akhiran an misalnya: kebaikan, keburukan, keduniawan, kebangsaan, ketidak-adilan, dan sebagainya[Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta, 1981, hlm. 25]. .
Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Berpikir alamiah, pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya [katakana saja : penalaran tentang api yang dapat membakar]. Berpikir ilmiah, pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat [dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan]55Tim Dosen Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Loc.cit. .
Dari dua pola berpikir di atas, akan dibahas pola berpikir ilmiah dan lebih khusus di fokuskan pada pembahasan logika dan statistika sebagai sarana berpikir ilmiah.

B. Sarana Berpkir Ilmiah
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan66S.Suriasumantri, Loc.cit. . Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: [1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan statistika77Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat, Op.Cit, hlm. 68. . Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasiuntuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.






Berdasarkan
Metode-metode
Ilmiah88Penjelasan Metode Ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkahuntuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Pola umum tata langkah dalam metode ilmiah mencakup : [1] penentuan masalah, [2] perumusan dengan sementara, [3] pengumpulan data, [4] perumusan kesimpulan, dan [5] verifikasi[Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 110]

Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif, dan sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan pengetahuan tersebut jelaslah bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan sarana ilmu yang berupa : bahasa, logika, matematika, dan statestika. Sedangkan fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif99 Ibid, hlm. 100..

Senin, 09 Februari 2009

Artikel Populer

APA ITU PENDIDIKAN?




Orang-orang Yunani Lama, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama "membantu" dan kedua "manusia".
Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah maka sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Perlu dibantu. Jadi, tujuan mendidik ialah manusia yang telah menjadi manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas.
Apa manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan ada tiga syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air; dan ketiga berpengetahuan.
Kemampuan mengendalikan diri memang penting dalam kehidupan ini. Ini telah diketahui sejak dulu sekali. Pada tahun 1995 muncul buku Goleman yang menjelaskan betapa pentingnya kemampuan mengendalikan diri tersebut. Ia menyebutnya emotional intelligence (EI) yang sering disingkat dengan EQ (emotional quotient) . Ia mengatakan bahwa EI atau EQ lebih penting ketimbang IQ. Nah, orang Yunani telah mengetahui hal itu. Pythagoras, salah seorang filosof besar pada zaman itu memberi syarat pada murid-muridnya agar murid-muridnya tidak makan kacang tanah dan ayam putih. Katanya, dua jenis makanan ini akan menyebabkan sulit mengendalikan diri.
Orang-orang zaman sekarang juga memahami pentingnya seseorang memiliki kemampuan mengendalikan diri. Sering orang tua menasehati menantunya agar mampu mengendalikan diri tatkala dapat uang banyak, tatkala memperoleh kesuksesan. Sering orang menasehati orang lain agar sabar; sabar adalah salah satu ciri kemampuan mengendalikan diri. Ya, ini memang penting. Banyak orang menyesali perceraiannya karena tatkala ia mengucapkan talak cerai itu ia dalam keadaan tidak mampu mengendalikan diri; banyak orang yang putus pertunangannya gara-gara ketelanjuran dan itu adalah ciri kurang mampu mengendalikan diri. Banyak yang jatuh dari tempat tinggi karena kurang mampu mengendalikan diri. Jatuh dengan cara seperti itu akan dirasakan amat sakit. Menyesal, malu, rugi. Kok hanya gara-gara ketelanjuran. Ketelanjuran adalah salah satu ciri kurang memiliki kemampuan mengendalikan diri. Pepatah lama mengatakan mulut kamu harimau kamu, akan menerkam kepala kamu. Maksud pepatah ini ialah banyak orang celaka karena ketelanjuran dalam bicara dan ia celaka oleh pembicaraannya itu.
Jika orang telah mampu mengendalikan diri, itu berarti ia telah memiliki akhlak mulia. Nah dengan sendirinya cinta pada tanah air juga akan tinggi. Cinta tanah air orang Yunani Lama itu adalah dalam arti cinta pada tempat tinggal. Konsep inilah yang menjadi cikal bakal pelajaran civic atau kewarganegaraan yang kita kenal sekarang. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sampai sekarang inti civic tetap saja cinta tempat tinggal. Civic justru akan rusak bila pengertiannya digeser dari pengertian itu. Ya, cinta tempat tinggal: jangan merusak alam, tidak membuang sampah sebarangan, jangan mencorat coret tembok, jangan mengganggu ketenangan tetangga. Bila yang seperti itu terujud, maka kehidupan akan menjadi kehidupan yang enak. Bener juga.
Bila konsep ini digeser, misalnya menjadi cinta bangsa, maka bahayanya ialah chauvinisme, bila disempitkan maka akan leih berbahaya lagi. Bila diubah menjadi cnta dunia, maka konsep akan diterima sebagai terlalu luas dan abstrak. Memang yang terbaik ialah cinta tempat tinggal. Di mana pun ia tinggal ia akan menyintai tempat itu, sekalipun ia tinggal di negara orang lain.
Manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Intinya ialah orang harus mampu berpikir benar. Mendengar ini mungkin akan ada orang bertanya, apa ada orang yang berpikir tidak benar. Banyak, orang gila misalnya. Orang yang sudah kuat secara ekonomi, tetapi masih mencuri atau korupsi juga, jelas itu orang yang tidak mampu berpikir benar. Orang seperti itu sebenarnya sejenis orang gila, ia orang yang sakit jiwa. Orang Yunani beranggapan berpikir cara filsafat atau berfilsafat adalah latihan terbaik untuk mampu berpikir benar.
Yang di atas itu adalah aspek pertama pendidikan yaitu tentang konsep manusia. Konsep itu masih layak dipakai sekarang. Masih bagus.
Aspek pendidikan yang kedua ialah menolong. Mengapa menolong, bukan mencetak, atau mewujudkan? Ya, karena pendidik mengetahui bahwa pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Tetapi, ada juga potensi untuk menjadi bukan manusia, menjadi binatang misalnya. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa orang yang dididik itu ada juga yang gagal menjadi manusia. Misalnya, ada juga beberapa tamatan perguruan tinggi yang punya sifat ingin menang sendiri (ini bukan sifat seseortang sebagai manusia), ada juga yang sudah kaya tetapi masih korupsi (ini juga bukan sifat manusia). Kegagalan pendidik dalam membantu manusia menjadi manusia itu memang ada, tetapi hanya sedikit.
Pendidik berpendapat batu tidak mungkin ditolong menjadi manusia, karena, ya itu tadi, batu tidak memiliki potensi menjadi manusia. Dari sinilah pendidik mengetahui bahwa dalam mendidik pendidik itu harus mengetahui poteni-potensi anak didiknya. Ini bidang psikologi; karena itu pendidik yang baik tentu mengetahui psikologi mengenai potensi-potensi itu.
Kata "menolong" juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar menolong. Jadi, pendidik jauh sebelum berbuat telah mengetahui bahwa muridnya itu nanti ada yang akan berhasil menjadi manusia dan ada yang tidak.
Apakah pendidik salah bila ia gagal? Pendidik biasanya merasa bersalah. Tetapi sebenarnya pedidik itu tidak bersalah. Itu hanya pembenaran terhadap teori "menolong" itu saja. Pendidik dapat saja gagal menolong muridnya.
Kata "menolong" juga mengkiaskan agar pendidik tidak sombong. Bila berhasil maka hasil itu adalah berkat usaha murid itu sendiri dan usaha dari orang lain atau pengaruh dar lainnya, sebagiannya merupakan hasil si pendidik. Kata "menolong" juga mengajarkan kepada pendidik bahwa ia mestilah melakukan pertolongan itu dengan kasih saying. Kata kasih sayang itu telah terdapat di dalam kata menolong itu. Tidak ada pertolongan yang kosong dari kasih saying. Konsekwensinya ialah pendidik tidak akan berhasil menolong bila dalam menolong itu tidak ada rasa kasih sayang kepada yang ditolong. Kata "menolong" juga mengandung pengertian selalu ke arah benar. Itu pun sudah terdapat dalam kata menolong itu. Jadi, pendidik itu harus menolong murid, dan pertolongannya itu harus berisi sesuatu yang benar. Karena itulah pendidik tidak mengenal istilah "mendidik anak mencuri, atau mendidik anak membohong". Sebab "mencuri" dan "membohong" itu tidak ada dalam kata menolong. Al-Qur`an menegaskan "tolong menolonglah kamu dalam kebaikan" , itu hanyalah menegaskan.
Sekarang banyak orang mengharap gaji terlalu banyak dari kerja mendidik. Akibatnya biaya pendidikan menjadi sangat mahal. Seringkali orang berpikir bahwa adalah wajar saja jika pendidik meminta upah yang tinggi dari kerja mendidik. Seolah dalam dirinya ia berkata, apa sih bedanya kerja mendidik dengan kerja mengelas atau nyopir? Jika kerja sebagai pilot meminta bayaran tinggi mengapa kerja mendidik -yang nota bene menghasilkan pilot- tidak wajar menuntut gaji yang tinggi? Begitulah berbagai pertanyaan muncul yang diakui atau tidak, di belakang pertanyaan itu tersimpan sifat kurang sayang pada murid. Sayang kepada murid dalam pendidikan dikatakan sama dengan sayang kepada anak sendiri. Itu suatu hal yang sungguh tidak mungkin. Yang mungkin ialah sayang dalam bentuk prihatin, khawatir, kalau-kalau murid itu tidak berkembang menjadi manusia yang diharapkan.
Kapan pendidikan bagi seseorang dimulai, dan kapan berakhir? Pertanyaan ini sudah lama sekali muncul di kalangan ahli pendidikan. Agama Islam mengatakan sejak buaian sampai liang kubur. Para ahli pendidikan mengatakan pendidikan berlaku sepanjang hayat (life long education). Ahli lain mengatakan pendidikan tidak pernah berhenti. Tiga pernyataan itu mengandung esensi yang sama: pendidikan berlangsung seumur hidup.
Pertanyaan lebih jauh muncul lagi, yaitu seunur hidup itu apa maksudnya? Apakah sejak lahir sampai meninggal? Atau sejak adanya hidup. Bila sejak adanya hidup itu berarti pendidikan itu dimulai sejak janin hidup di dalam rahim. Jadi ada pendidikan pranatal dan dilanjutkan setelah natal.
Baiklah kita ambil satu kesimpulan saja: pendidikan berlangsung seumur hidup dengan mengesampingkan apakah dimulai sejak dalam rahim atau setalah lahir. Persoalan yang perlu dibahas sedikit ialah mengapa pendidikan itu berlangsung seumur hidup.
Jawaban terhadap pertanyaan itu terletak pada pandangan kita tentang hakikat pendidikan dari segi lain. Tadi dikatakan pendidikan ialah pertolongan. Segi lain menyatakan bahwa pendidikan ialah segala yang mempengaruhi seseorang. Nah, dari segi ini memang benar, tidak boleh tidak, pendidikan harus berlangsung seunur hidup karena manusia selama masih hidup ia selalu mendapat pengaruh dari berbagai pihak. Segi lain lagi ialah ini: pendidikan ialah usaha menolong orang agar ia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jadi, selama manusia masih menghadapi masalah yang harus diselesaikan selama itu pula ia masih menjalani pendidikan, sementara itu manusia tidak pernah tidak menghadapi masalah. Jadi, karena manusia selalu menghadapi masalah maka ia selama itu pula memerlukan pendidikan.

Artikel Populer

MASALAH YANG TIDAK PERNAH SELESAI

Oleh : Tiara Eka Saputri


Pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah selesai. Pendidiakn selalu terasa tidak pernah memuaskan. Pendidikan selalu dibicarakan. Pendidikan bahkan selalu menjadi bahan perdebatan. Apakah Anda mengira pendidikan di negara yang disebut sudah maju tidak pernah lagi membicarakan pendidikan mereka? Apakah mereka sudah betul-betul puas terhadap pendidikan mereka? Tidak, orang-orang di negara maju pun masih mengkritik keadaan pendidikan di negara mereka. Mengapa manusia tidak pernah puas terhadap pendidikan yang ada?
Semua orang mengambil bagian bila yang dibicarakan pendidikan. Itu mudah dipahami. Karena semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Orang yang ingin memperbaiki seseorang, sekelompok orang, sesuatu negara, dan bahkan dunia, pasti akan melakukannya, langsung atau tidak langsung, melalui pendidikan. Orang yang akan merusak negara juga akan melakukannya melalui pendidikan. Orang yang mengerti pendidikan tentu akan ikut bicara pendidikan. Orang yang tidak tahu apa-apa tentang pendidikan juga ikut berbicara tentang pendidikan karena anak dan turunannya telah dan akan mengikuti pendidikan. Pendidikan adalah masalah bersama, semua orang berkepentingan dengan pendidikan.
Berbeda halnya bila yang dibicarakan masalah pabrik nuklir, sekalipun juga menyangkut masalah bersama tetapi tidak setiap orang akan ikut membicarakannya. Berbeda juga dengan masalah sampah, toh tidak setiap orang ikut membicarakannya, sekalipun setiap orang bersangkutan dengan sampah. Adapun pendidikan, semua orang membicarakannya, mencercanya, mengutuknya, tidak puas terhadapnya tetapi ia tetap saja menyerahkan pendidikan anaknya ke lembaga pendidikan. Amat jarang terdengar orang memuji pendidikan.
Itulah sebabnya pendidikan tidak pernah selesai. Dan tidak pernah selesai dibicarakan. Mengapa? Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik. Ia menginginkan pendidikan yang lebih baik sekalipun belum tentu ia tahu mana pendidikan yang lebih baik itu. Karena sudah fitrah manusia, maka penyebab pertama ini tidak dapat dibahas lebih lanjut. Jadi, sudah takdirnya pendidikan itu tidak pernah selesai.
Kedua, karena teori pendidikan -dan teori pada umumnya- selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah, maka kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu maka masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang ada.
Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya. Suatu ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya. Tiga penyebab itu intinya ialah sifat manusia yang tidak pernah puas.
Watak tidak pernah puas itu pernah dibahas secara mendasar oleh J.P. Sartre, filosof eksistensialis Perancis. Katanya, salah satu sifat dasar manusia ialah tidak pernah puas; yang ia inginkan ialah yang belum ada sedangkan yang ada bukanlah yang diinginkannya. Inilah salah satu takdir manusia, kata Sartre. Sartre berhasil membongkar sifat tidak pernah puas itu tetapi ia tidak berhasil menemukan jalan keluarnya. Katanya, watak tidak pernah puas itu akan menyebabkan manusia menderita, itu dapat diakhiri dengan bunuh diri.
Agama juga membenarkan adanya sifat tidak puas itu, gunanya ialah agar manusia selalu maju, selalu berusaha menjadi lebih baik. Tetapi, bila perbaikan atau kemajuan itu tidak tercapai agama-agama mengajarkan agar manusia dengan sadar menerimanya, wajib mensyukurinya, dan bukan mengakhirinya dengan bunuh diri. Jadi, jika tidak puas dengan keadaan suatu pendidikan, ya, kita carikan jalan perbaikannya, sementara yang telah ada itu -sekalipun belum memuaskan kita- wajib kita syukuri. Bukan dengan mengutuk terus menerus.
Bagaimana memperbaiki pendidikan? Lazimnya perbaikan pendidikan dilakukan dengan mengkaji ulang pendidikan pada tingkat filsafat, pada level ini dilakukan renungan mendalam yang universal di mana pendidikan dihubungkan dengan segala sesauatu yang ada dan yang mungin ada; pemikiran mendalam, universal dan bersifat umum ini selanjutnya diturunkan pada level kedua yaitu filsafat pendidikan. Pada leval dua ini pendidikan itu dipikirkan secara mendalam dan universal tetapi terfokus pada masalah pendidikan yang akhirnya muncul dalam bentuk paradigma baru tentang pendidikan. Renungan-renungan mendalam tentang pendidikan ini selanjutnya diturunkan pada level ketiga yaitu penyusunan dan pembangunan kembali teori-teori ilmu pendidikan yang disesuaikan dengan paradigma yang telah dihasilkan pada level dua. Setelah itu barulah didisain model-model pendidikan yang sejalan dengan teori ilmu pendidikan yang baru tersebut. Inilah cara yang benar dalam memperbaiki pendidikan. Tentu saja itu dilakukan oleh ahli pendidikan.
Apa yang kita lihat selama ini? Terlalu banyak orang ikut berbicara tentang pendidikan. Bila yang berbicara tentang pendidikan itu bukan orang penting, artinya bukan pemegang kekuasaan, bukan pembuat keputusan yang mengikat publik, itu baik-baik saja. Itu dapat menjadi bahan dalam perenungan pendidikan pada tingkat filsafat pendidikan. Yang berbahaya ialah bila orang yang berbicara itu adalah pemegang kekuasaan, pembuat kebijakan. Itu yang pertama.
Yang kedua, kita seringkali menyaksikan perbaikan pendidikan secara tambal sulam. Misalnya, lulusan kurang cinta negara, lantas buru-buru pelajaran civic ditambah jamnya. Adakan pelatihan guru civic. Orang melihat murid-murid sekolah malas shalat atau ke gereja, orang buru-buru menambah jam pelajaran agama, penataran guru agama, mencetak buku paket. Ada gejala anak-anak sering merusak lingkungan, lantas buru-buru diberi palajaran cinta lingkungan. Perbaikan pendidikan dengan cara demikian (cara tambal sulam, ad hoc) sebenarnya tidak pernah dianjurkan dalam Ilmu Pendidikan. Tapi aneh ya, cara seperti itu sering sekali ditempuh.
Pernah ada seorang tokoh level nasional berteriak di salah satu kampus perguruan tinggi: "Mengapa SMA kita terlalu banyak mata pelajarannya, coba tiga atau empat saja, tentu mutunya akan hebat." Kalimat beliau ini menjelaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang pendidikan. Tetapi tidak apa-apa, toh tadi sudah dikatakan bahwa setiap orang boleh bicara tentang pendidikan, dan itu baik. Tetapi bila teriakan tokoh itu akan kita pertimbangkan, tentunya itu dilakukan menuruti prosedur yang disebut di atas tadi, yaitu pikirkan secara filsafat, lalu filsafat pendidikan, dilanjutkan ke tingkat ilmu pendidikan, bukan lantas buru-buru mengubah kurikulum SMA hanya dengan empat mata pelajaran.
Masalah sosial dan fakta sosial

Sosiologi sesungguhnya bukanlah praktek, tetapi suatu upaya untuk memahami realitas dan masalah sosial. Masalah-masalah yang menarik perhatian sosiologi tidak perlu sama dengan apa yang oleh orang lain sebut sebagai masalah sosial. Berbeda dengan pengertian masalah sosial yang lebih banyak dipahami orang awam atau kaum birokrat, sebagai sesuatu yang tidak beres di dalam masyarakat.

Masalah sosial bukanlah semata-mata mengapa sesuatu hal tidak beres di dalam masyarakat, tetapi pada persoalan bagaimana seluruh sistem bekerja, apa yang menjadi presuposisinya, dan bagaimana semuanya diikat menjadi satu ( Berger, 1985:55)
Menurut Durkheim, Tugas Ilmu sosial adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial, yakni sebuah kekuatandan struktur yangbersifat eksternal, tetapi mampu mempengaruhi prilaku individu. Dengan kata lain, fakta sosial adalah cara-cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Yang dimaksud fakta sosial di sini tidak hanya yang bersifat material, tetapi juga non material, seperti kultur, agama atau institusi sosial.
Secara teoritik, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial dan komunikasi. Terjadinya suatu kontak sosial, tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan tetapi juga tergantung pada adanya tangapan terhadap tindakan tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila seseorang memberikan tafsiran terhadap sesuatu atau perlakuan orang lain.
Metode Penelitian Kritis dan Prinsip-prinsip Participatory Action Research (PAR)

Seiring dengan telah diumumkan para nominator yang akan menerima bantuan dana program pemberdayaan mutu madrasah/pesantren.masjid binaan PTAI tahun 2004, belum lama ini diadakan Workshop Nasional Parcipatory Action Research dan juga metode penelitian kritis Ditperta kerjasama dengan STAIN Surakarta. Dengan pembekalan ini diharapkan mereka yang mendapatkan amanah untuk melakukan pemberdayaan pesantren, madrasan dan masjid akan memiliki "seperangkat" ilmu yang memadai dan memudahkan pelaksanaan program nantinya. Dipilihnya PAR sebagai materi pelatihan, karena metode ini dianggap paling cocok untuk mengadakan perubahan dan perbaikan terhadap komunitas masyarakat. Dan memang ini yang diharapkan oleh Pak Direktur H. Arief Furqan, M.A, Ph.D agar mereka-mereka yang mendapatkan program ini tidak sekedar secara formal dapat menyelesaikan program, akan tetapi sejauhmana mereka (yang dijadikan sasaran program pemberdayaan) betul-betul berdaya atau mandiri setelah program tersebut selesai dilaksanakan.

Dalam agenda workshop tersebut, didatangkan para ahli yang memang menguasai mengenai PAR, yakni Ahmad Mahmudi. Nara sumber juga melengkapi kajiannya dengan memberikan metode penelitian kritis (meneliti dunia untuk merubahnya). Menurut Ahmad mahmudi ada beberapa prinsip-prinsip PAR yang yang harus dipahami terlebih dahulu. Antara lain, pertama PAR harus diletekkan sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki praktek-praktek sosial dengan cara merubahnya dan belajar dari akibat-akibat dari perubahan tersebut. Kedua, secara keseluruhan merupakan partisipasi yang murni (autentik) dimana akan membentuk sebuah spiral yang berkesinambungan sejak dari perencanaan (planing), tindakan (pelaksanaan atas rencana), observasi (evaluasi atas pelaksanaan rencana), refleksi (teoritisi pengalaman). Ketiga, PAR merupakan kerjasama (kolaborasi), semua yang memiliki tanggungjawab atas tindakan perubahan dilibatkan dalam upaya-upaya meningkatkan kemampuan mereka. Keempat PAR merupakan suatu proses membangun pemahaman yang sistematis (systematic learning process), merupakan proses penggunaan kecerdasan kritis saling mendiskusikan tindakan mereka dan mengembangkannya, sehingga tindakan sosial mereka akan dapat benar-benar berpengaruh terhadap perubahan sosial. Kelima, PAR suatu proses yang melibatkan semua orang dalam teoritisasi atas pengalaman-pengalaman mereka sendiri.

Dalam konteks ini mereka harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh rasa ingin tahu dan memahami pola hubungan antara keadaan, tindakan, dan konsekuensi-konsekuensi dalam kehidupan mereka sendiri. Proses teoritisasi dalam PAR dimulai dengan pengungkapan-pengungkapan dan penguraian secara rasional dan kritis terhadap praktek-praktek sosial mereka. Dari kesemua prinsip-prinsip PAR yang ada, yang terpenting adalah dalam PAR tidak mengharuskan membuat dan mengelola catatan rekaman yang menjelaskan apa yang sedang terjadi se-akurat mungkin, akan tetapi merupakan analisa kritis terhadap situasi yang secara kelembagaan diciptakan (seperti melalui proyek-proyek, program-program tertentu atau sistem. Salah satu prinsip dalam PAR yang paling unique adalah menjadikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri sebagai sasaran pengkajian (objectifying their own experience).

Di samping itu dalam rangka melengkapi ketrampilan para peserta workshop, mereka juga diberi bekal metode penelitian kritis. Metode ini sangatlah penting untuk dapat menambahi wawasan dan artikulasi penelitian atau arti penting dari penelitian itu sendiri. Setelah para peserta diperkenalkan dengan prinsip-prinsip PAR dan metode penelitian kritis, selanjutnya mereka diajak praktek langsung untuk membedah proposal (agenda penelitian) yang akan mereka garap, baik dalam bidang pemberdayaan pesantren, masjid ataupun madrasah.

Untuk pemberdaayaan masjid masalah utama yang dihadapi adalah keberadaan masjid yang hanya (sekedar) menjadi pusat peribadatan dalam arti ritual dan tidak terlibat dalam persoalan riil keseharian jama'ahnya. Khutbah yang diterima oleh jama'ah tidak mencerminkan keprihatinan terhadap apa yang secara nyata dipersepsi sebagai problem Jama'ahnya. Demikian pula posisi takmir masjid seringkali tidak menjalankan aktifitas yang dapat mendorong dilakukannya tindakan nyata dalam menghadapi problem sosial. Himbauan tentang iman, kesabaran dalam menghadapi hidup dan tema-tema sejenisnya tidak tidak dielaborasikan dalam seruan-seruan dan gerakan-gerakan yang lebih nyata dan kongkret. Sementara itu, keberadaan masjid hampir tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan pemberdayaan, grass-root lapisan sosial masyarakat. Pesan keagamaan yang disampaikan hanya berkaitan dengan seruan-seruan moral, iman dan akherat. Sementara itu pada saat yang sama problem kemiskinan, pengangguran dan pendidikan luput dari sorotan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para jamaáh seolah-olah "dibiarkan" terbelit dalam problemnya sendiri, tanpa adanya sentuhan strategis-kongkret dari inspirasi ajaran agama. Singkatnya masjid kurang dapat mengoptimalkan dalam melakukan kemitraan dengan jalinan masyarakat, dalam rangka ikut serta memecahkan problem sosial yang sedang mereka hadapi.

Problem kurangnya kemitraan ini juga dialami oleh masyarakat pengelola madrasah. Mardarasah kurang mampu mendinamisasi partisipasi masyakarat setempat agar ada rasa kepedulian dalam mengembangkan dan memajukan madrasah. Tidaklah menggherankan kalau sebagian proposal pemberdayaan madrasah bermuara dan bertujuan untuk dapat mengoptimalkan pengurus madrasah. Oleh karena itu, diperlukan adanya rekayasa sistematis dalam meningkatkan peran madrasah dengan merangkul partisipasi masyarakat secara aktif. Sedangkan untuk pondok pesantren lebih banyak perubahan internal yang diharapkan, baik kurikulum dalam mengajar, relasi anta kyai dan santri serta tumbuhnya suasana demokratisasi dalam pesantren.

Setelah mendapatkan penjelasan metode penelitian kritis dan Participatory Action Research (PAR) sebagian dari peserta workshop yang mewakili mereka yang mendapatkan program pemberdayaan pesantren, madrasah, dan masjid mendapatkan gambaran yang detail untuk melangkah dan menjalankankan program pemberdayaan, dan yang paling penting adalah adanya hasil dan perubahan pasca program pemberdayaan. Direkonstruksi dari (Adib, Gja)