Senin, 09 Februari 2009

Metode Penelitian Kritis dan Prinsip-prinsip Participatory Action Research (PAR)

Seiring dengan telah diumumkan para nominator yang akan menerima bantuan dana program pemberdayaan mutu madrasah/pesantren.masjid binaan PTAI tahun 2004, belum lama ini diadakan Workshop Nasional Parcipatory Action Research dan juga metode penelitian kritis Ditperta kerjasama dengan STAIN Surakarta. Dengan pembekalan ini diharapkan mereka yang mendapatkan amanah untuk melakukan pemberdayaan pesantren, madrasan dan masjid akan memiliki "seperangkat" ilmu yang memadai dan memudahkan pelaksanaan program nantinya. Dipilihnya PAR sebagai materi pelatihan, karena metode ini dianggap paling cocok untuk mengadakan perubahan dan perbaikan terhadap komunitas masyarakat. Dan memang ini yang diharapkan oleh Pak Direktur H. Arief Furqan, M.A, Ph.D agar mereka-mereka yang mendapatkan program ini tidak sekedar secara formal dapat menyelesaikan program, akan tetapi sejauhmana mereka (yang dijadikan sasaran program pemberdayaan) betul-betul berdaya atau mandiri setelah program tersebut selesai dilaksanakan.

Dalam agenda workshop tersebut, didatangkan para ahli yang memang menguasai mengenai PAR, yakni Ahmad Mahmudi. Nara sumber juga melengkapi kajiannya dengan memberikan metode penelitian kritis (meneliti dunia untuk merubahnya). Menurut Ahmad mahmudi ada beberapa prinsip-prinsip PAR yang yang harus dipahami terlebih dahulu. Antara lain, pertama PAR harus diletekkan sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki praktek-praktek sosial dengan cara merubahnya dan belajar dari akibat-akibat dari perubahan tersebut. Kedua, secara keseluruhan merupakan partisipasi yang murni (autentik) dimana akan membentuk sebuah spiral yang berkesinambungan sejak dari perencanaan (planing), tindakan (pelaksanaan atas rencana), observasi (evaluasi atas pelaksanaan rencana), refleksi (teoritisi pengalaman). Ketiga, PAR merupakan kerjasama (kolaborasi), semua yang memiliki tanggungjawab atas tindakan perubahan dilibatkan dalam upaya-upaya meningkatkan kemampuan mereka. Keempat PAR merupakan suatu proses membangun pemahaman yang sistematis (systematic learning process), merupakan proses penggunaan kecerdasan kritis saling mendiskusikan tindakan mereka dan mengembangkannya, sehingga tindakan sosial mereka akan dapat benar-benar berpengaruh terhadap perubahan sosial. Kelima, PAR suatu proses yang melibatkan semua orang dalam teoritisasi atas pengalaman-pengalaman mereka sendiri.

Dalam konteks ini mereka harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh rasa ingin tahu dan memahami pola hubungan antara keadaan, tindakan, dan konsekuensi-konsekuensi dalam kehidupan mereka sendiri. Proses teoritisasi dalam PAR dimulai dengan pengungkapan-pengungkapan dan penguraian secara rasional dan kritis terhadap praktek-praktek sosial mereka. Dari kesemua prinsip-prinsip PAR yang ada, yang terpenting adalah dalam PAR tidak mengharuskan membuat dan mengelola catatan rekaman yang menjelaskan apa yang sedang terjadi se-akurat mungkin, akan tetapi merupakan analisa kritis terhadap situasi yang secara kelembagaan diciptakan (seperti melalui proyek-proyek, program-program tertentu atau sistem. Salah satu prinsip dalam PAR yang paling unique adalah menjadikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri sebagai sasaran pengkajian (objectifying their own experience).

Di samping itu dalam rangka melengkapi ketrampilan para peserta workshop, mereka juga diberi bekal metode penelitian kritis. Metode ini sangatlah penting untuk dapat menambahi wawasan dan artikulasi penelitian atau arti penting dari penelitian itu sendiri. Setelah para peserta diperkenalkan dengan prinsip-prinsip PAR dan metode penelitian kritis, selanjutnya mereka diajak praktek langsung untuk membedah proposal (agenda penelitian) yang akan mereka garap, baik dalam bidang pemberdayaan pesantren, masjid ataupun madrasah.

Untuk pemberdaayaan masjid masalah utama yang dihadapi adalah keberadaan masjid yang hanya (sekedar) menjadi pusat peribadatan dalam arti ritual dan tidak terlibat dalam persoalan riil keseharian jama'ahnya. Khutbah yang diterima oleh jama'ah tidak mencerminkan keprihatinan terhadap apa yang secara nyata dipersepsi sebagai problem Jama'ahnya. Demikian pula posisi takmir masjid seringkali tidak menjalankan aktifitas yang dapat mendorong dilakukannya tindakan nyata dalam menghadapi problem sosial. Himbauan tentang iman, kesabaran dalam menghadapi hidup dan tema-tema sejenisnya tidak tidak dielaborasikan dalam seruan-seruan dan gerakan-gerakan yang lebih nyata dan kongkret. Sementara itu, keberadaan masjid hampir tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan pemberdayaan, grass-root lapisan sosial masyarakat. Pesan keagamaan yang disampaikan hanya berkaitan dengan seruan-seruan moral, iman dan akherat. Sementara itu pada saat yang sama problem kemiskinan, pengangguran dan pendidikan luput dari sorotan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para jamaáh seolah-olah "dibiarkan" terbelit dalam problemnya sendiri, tanpa adanya sentuhan strategis-kongkret dari inspirasi ajaran agama. Singkatnya masjid kurang dapat mengoptimalkan dalam melakukan kemitraan dengan jalinan masyarakat, dalam rangka ikut serta memecahkan problem sosial yang sedang mereka hadapi.

Problem kurangnya kemitraan ini juga dialami oleh masyarakat pengelola madrasah. Mardarasah kurang mampu mendinamisasi partisipasi masyakarat setempat agar ada rasa kepedulian dalam mengembangkan dan memajukan madrasah. Tidaklah menggherankan kalau sebagian proposal pemberdayaan madrasah bermuara dan bertujuan untuk dapat mengoptimalkan pengurus madrasah. Oleh karena itu, diperlukan adanya rekayasa sistematis dalam meningkatkan peran madrasah dengan merangkul partisipasi masyarakat secara aktif. Sedangkan untuk pondok pesantren lebih banyak perubahan internal yang diharapkan, baik kurikulum dalam mengajar, relasi anta kyai dan santri serta tumbuhnya suasana demokratisasi dalam pesantren.

Setelah mendapatkan penjelasan metode penelitian kritis dan Participatory Action Research (PAR) sebagian dari peserta workshop yang mewakili mereka yang mendapatkan program pemberdayaan pesantren, madrasah, dan masjid mendapatkan gambaran yang detail untuk melangkah dan menjalankankan program pemberdayaan, dan yang paling penting adalah adanya hasil dan perubahan pasca program pemberdayaan. Direkonstruksi dari (Adib, Gja)