Selasa, 10 Maret 2009

BAGIAN KEDUA
Fase Pertama: Masa Pranikah, Prahamil, dan Kehamilan

Islam memberikan perhatian ekstra terhadap perkembangan anak serta kesehatan jasmani dan ruhaninya jauh sebelum sang anak dilahirkan. Islam menganjurkan para orang tua untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan keselamatan dan kesehatan anaknya, sehingga anak akan lahir dan tumbuh dengan baik.

Persiapan tersebut antara lain, pertama, Islam menekankan pentingnya melakukan seleksi ketat dalam pemilihan jodoh. Dan selanjutnya, saat janin telah berada di rahim ibunya, yang merupakan masa yang sangat berpengaruh bagi perkembangannya di masa mendatang, Islam juga mengajarkan kepada kita bagaimana masa ini harus dilewati. Ajaran-ajaran Islam yang berkenaan dengan fase ini dapat kita kelompokkan seperti di bawah ini:
1. Masa Pranikah

Baik realitas maupun riset ilmiah membuktikan bahwa gen atau unsur keturunan dan lingkungan sosial sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak maupun perkembangan jasmaninya.[1] Anak banyak mewarisi sifat dan karakter yang dimiliki ayah, ibu, dan kakeknya, seperti tingkat kecerdasan, tingkah laku, kerendahdirian, kedermawanan, dan berbagai hal lainnya. Karena itu, orang tua merupakan salah satu faktor perpindahan sifat-sifat tersebut kepada anak atau, paling tidak, mereka dapat menciptakan semacam potensi pada diri anak untuk menyandang sifat-sifat tersebut.

Selain itu, adat istiadat dan kebiasaan juga berpengaruh pada diri anak. Oleh sebab itulah, Islam menekankan pentingnya mengadakan seleksi ketat dalam memilih pasangan hidup dari lingkungan dan keluarga yang sehat dan baik.
a. Memilih Isteri

Dalam memilih isteri, Islam mengajarkan kepadakaum lelaki muslim untuk memperhatikan dua hal yaitu, pertama, silsilah keturunan calon isteri, dan kedua, lingkungan tempat ia hidup dan sejauh mana lingkungan ini berpengaruh pada kepribadiannya.

Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Pandai-pandailah memilih calon isteri karena saudara isteri akan menurunkan sifat dan karakternya pada anak kalian.[2]

Di dalam hadis yang lain beliau bersabda,

Artinya: Pilihlah dengan benar wanita yang akan mengandung anakmu karena unsur keturunan sangat berpengaruh pada anak. [3]

Rasulullah menganjurkan untuk memilih isteri dari keluarga yang memiliki sifat-sifat terpuji karena keluarga yang baik akan membentuk karakter yang baik pula pada diri wanita tersebut. Bila kita menengok ke lembaran sejarah kehidupan beliau akan kita temukan bahwa Rasulullah juga sangat memperhatikan hal tersebut.

Beliau mengawini Khadijah a.s., seorang wanita mulia yang di kemudian hari melahirkan anak yang merupakan penghulu wanita seluruh dunia yaitu Fatimah Zahra a.s. Sunnah Nabi ini diikuti oleh keluarga suci beliau. Ahlul Bait a.s. selalu memilih isteri dari keluarga yang baik dan terhormat.

Selain memilih istri yang berasal dari keluarga yang baik dan mulia, Islam juga menekankan untuk memilih isteri dari lingkungan sosial yang bersih karena lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada wanita tersebut. Sebaliknya, Islam melarang kaum lelaki untuk memilih isteri dari lingkungan yang tidak baik. Dalam hadis disebutkan, bahwa Rasul SAWW melarang untuk mempersunting wanita cantik yang hidup di lingkungan yang sesat. Beliau bersabda,

Artinya: Berhati-hatilah terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak baik.[4]

Imam Ja’far Shadiq a.s. melarang lelaki muslim menikahi wanita pezina. Beliau berkata,


Artinya: Jangan sekalipun kalian menikahi wanita yang terang-terangan berzina.[5]

Imam Muhammad Baqir a.s. dalam hadisnya melarang pria beriman untuk mengawini wanita gila karena dikhawatirkan anak yang akan dilahirkannya akan mewarisi kegilaan ibunya. Ketika ditanya tentang perkawinan dengan wanita gila, beliau menjawab,

Artinya: Jangan! Tetapi jika ada orang yang memiliki budak wanita yang gila, ia dapat mengumpulinya dan jangan sampai ia mendapatkan anak darinya. [6]

Dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib a.s. memperingatkan pria muslim untuk tidak menikahi wanita dungu karena dikhawatirkan anak yang ia lahirkan akan mewarisi kedunguannya. Selain itu, wanita dungu tidak akan mampu mendidik anak dengan baik dan benar. Beliau berkata,

Artinya: Jangan sekalipun kalian mengawini wanita dungu karena bergaul dengan wanita seperti itu merupakan petaka bagi seseorang dan anak yang dilahirkan akan tidak berguna. [7]

Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa tolok ukur yang benar dalam memilih isteri adalah tingkat keimanan dan keloyalan wanita terhadap agamanya. Rasulullah dalam banyak hadisnya sangat menekankan masalah ini. Suatu hari seseorang datang menemui Rasulullah SAWW dan meminta nasehat dari beliau tentang perkawinan. Beliau menjawab,

Artinya: Pilihlah wanita yang loyal pada agamanya, niscaya engkau akan berbahagia. [8]

Imam Ja’far Shadiq a.s. memprioritaskan masalah agama di atas harta dan kecantikan wanita. Beliau mengatakan,


Artinya: Jika seseorang mengawini seorang wanita karena kecantikan atau hartanya, ia akan mendapatkan apa yang ia cari itu. Tapi bila ia mengawininya karena agamanya, Allah pasti akan memberinya kecantikan dan harta.[9]

Wanita yang berasal dari keturunan yang baik dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang beriman akan menjadi wanita yang taat beragama. Wanita seperti inilah yang dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam.

Dengan demikian, program pendidikan anak yang diterapkan oleh kedua belah pihak, suami dan isteri, akan sama, tanpa perbedaan yang berarti. Wanita seperti ini akan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjalankan program pendidikan yang sesuai dengan nilai Islam dan menganggapnya sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Mental yang demikian ini akan mencegahnya melakukan hal-hal yang dapat menghalangi kelancaran program pendidikan anak dan meninggalkan dampak negatif pada diri anak.
b. Memilih Suami

Sebagaimana ibu, seorang ayah juga memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan anak, fisik, serta mental dan kejiwaannya. Karena itu, dalam memilih calon suami, Islam juga mengajarkan untuk memperhatikan sisi keturunan dan lingkungan tempat ia tinggal. Si calon suami tersebut hendaknya juga memiliki sifat-sifat yang terpuji sebab ia kelak akan menjadi panutan anak-anaknya dan menurunkan semua sifat dan wataknya kepada mereka. Selain itu, isteri juga akan terpengaruh oleh sebagian sifat-sifatnya melalui pergaulan sehari-hari dengannya.

Oleh sebab itu, Rasulullah SAWW menganjurkan para wanita untuk memilih calon suami yang sepadan. Suami yang sepadan menurut Rasulullah SAWW adalah sebagai berikut.


Artinya: Lelaki yang sepadan adalah lelaki yang menjaga kehormatannya dan sedikit berkecukupan. [10]

Imam Ja’far Shadiq a.s. memperingatkan kaum wanita agar jangan memilih lelaki yang kesehatan jiwanya terganggu. Beliau berkata,

Artinya: Kawinilah wanita yang peragu tetapi jangan kalian berikan wanita kalian pada lelaki yang peragu karena isteri selalu belajar dari perangai dan kebiasaan suami serta mengikutinya dalam beragama.[11]

Islam menjadikan ketaatan pada agama sebagai penilaian terpenting dalam memilih calon suami. Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Jika seorang lelaki yang kalian sukai perangai dan agamanya datang meminang, terimalah pinangannya itu! [12]

Menurut Islam, seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki nonmuslim. Hikmah dari hukum ini adalah demi menjaga keselamatan anak-anak dan keluarga dari hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk yang menyangkut kepercayaan (agama) dan perilaku, sebab istri dan anak akan sangat terpengaruh oleh kepercayaan dan perilaku si ayah.

Islam juga melarang kita mengawinkan wanita anggota keluarga kita dengan seorang lelaki yang tidak taat beragama dan berperilaku tidak Islami demi menjaga wanita tersebut serta anak-anaknya kelak dari penyimpangan terhadap agama.

Imam Ja’far Shadiq a.s. mengatakan,

Artinya: Jangan kalian menikahi wanita yang terang-terangan berzina dan jangan kalian kawinkan wanita kalian dengan lelaki pezina kecuali jika kalian yakin bahwa mereka telah bertaubat. [13]

Imam Ja’far Shadiq a.s. juga melarang mengawinkan wanita anggota keluarga kita dengan seorang lelaki peminum arak. Beliau berkata,

Artinya: Jika seseorang mengawinkan anak atau saudara perempuannya dengan peminum arak, berarti ia telah memutuskan tali persaudaraan dengannya.[14]

Orang yang berperilaku menyimpang akan memberikan dampak yang negatif pada perilaku anak-anaknya karena semua tindak-tanduknya akan terekam pada memori anak-anak dan dipraktekkan dalam tingkah-laku mereka. Selain itu, orang seperti ini tidak akan pernah mempedulikan pendidikan anak-anaknya. Dia juga akan membuat banyak masalah dengan isterinya dan hal itu akan menciptakan ketidakharmonisan dalam keluarga. Jika hal ini terjadi, rumah tangga yang semestinya menjadi tempat yang aman dan tenteram bagi perkembangan dan pendidikan anak-anak berubah menjadi tempat yang seram dan menegangkan.

Riwayat hidup Rasulullah SAWW dan Ahlul Bait a.s. memperlihatkan contoh teladan dalam memilih pasangan untuk anak-anak mereka. Rasulullah SAWW tidak memberikan anaknya yang bernama Fatimah kepada para sahabat-sahabat besarnya. Setiap datang lamaran dari salah seorang sahabat, jawaban yang selalu diberikannya adalah bahwa beliau menunggu ketentuan Allah.[15] Kemudian beliau mengawinkan putri kesayangannya itu dengan Ali bin Abi Thalib a.s. sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.[16]

Diriwayatkan, bahwa Dzalfa’, seorang wanita muslim yang terkenal karena kecantikan dan kebangsawanannya, dipuji oleh Rasulullah SAWW karena mau menikah dengan Juwaibir, lelaki muslim yang miskin dan tidak tampan tetapi taat beragama dan beriman tebal.[17]
2. Masa Prahamil

Setelah mengajarkan pentingnya seleksi dalam memilih pasangan hidup, Islam melanjutkan arahannya dengan menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh suami dan isteri dalam mendidik anak sejak masa yang paling dini, yaitu sejak masa prahamil.

Allah SWT telah menjadikan hubungan antara suami isteri sebagai hubungan yang didasari oleh perasaan cinta dan kasih sayang; hubungan yang dilandasi oleh sikap saling berbagi perasaan. Untuk menjaga kelestarian hubungan ini, Islam mengajak kita untuk menjadikan nilai-nilai luhur Islam sebagai asas dan pondasi keluarga. Allah SWT berfirman,

Artinya: Salah satu tanda kekuasaan-Nya adalah dijadikan-Nya untuk kalian isteri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenteram dan cenderung kepadanya. Kemudian, Dia jadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang .... [18]

Malam pengantin merupakan awal dari hubungan sejati suami isteri. Pada saat-saat seperti itu, Islam mengajarkan kepada mereka berdua untuk memperhatikan etika Islam supaya hubungan ini tidak semata-mata hubungan badan murni seperti sepasang binatang. Pertama, suami dan isteri hendaknya melaksanakan shalat sunnah dua rakaat. Setelah mengucapkan puji syukur ke hadirat Ilahi atas nikmat yang telah Dia berikan kepada mereka dan membaca shalawat bagi Rasulullah SAWW dan keluarganya, mereka hendaknya memanjatkan doa demi keutuhan hubungan cinta di antara keduanya, yaitu sebagai berikut.

Artinya: Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku cinta, kasih sayang, dan kerelaannya. Jadikanlah aku ridha padanya. Jadikanlah kebersamaan kami ini kebersamaan terbaik dan hubungan antara kami ini hubungan yang harmonis. Sesungguhnya Engkau menyenangi yang halal dan membenci yang haram. [19]

Dengan memperhatikan ajaran Islam ini, akan terciptalah suasana yang indah dan menyenangkan pada pertemuan pertama. Tidak ada lagi alasan bagi isteri untuk merasa takut dan cemas menghadapi malam pengantin. Dengan demikian, malam pertama atau malam pengantin mereka berdua akan dipenuhi oleh rasa cinta, kasih sayang dan keakraban.

Ketika keduanya akan melangkah ke tahap berikutnya, yaitu melakukan hubungan intim, di-sunnah-kan untuk membaca doa sebagai berikut.

Artinya: Ya Allah, karuniailah aku anak yang shaleh dan cerdas yang tidak ada cacat dalam bentuk lahirnya dan jadikanlah akhir kehidupannya di dunia husnul khatimah.

Zikir yang paling baik dibaca sebelum memulai hubungan badan adalah Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.[20]
3. Masa Kehamilan
a. Pembentukan Janin

Demi menjaga keselamatan jasmani dan ruhani janin, Islam telah mengajarkan beberapa hal yang mudah untuk diamalkan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAWW melarang wanita untuk memakan apel muda, susu, dan cuka pada minggu pertama kehamilannya sebab makanan tadi dapat menyebabkan kesulitan saaat melahirkan nanti atau bahkan menunda kelahiran anak. Selain itu juga dapat mengakibatkan beberapa penyakit[21] yang berdampak negatif pada kandungan dan janin yang ia kandung.

Rasulullah SAWW dan Ahlul Bait a.s. melarang suami isteri melakukan hubungan badan pada waktu-waktu tertentu yang dikhawatirkan dapat berakibat buruk pada anak. Larangan ini tentunya bukan berarti haram, melainkan makruh dan berdampak buruk pada kesehatan jasmani dan ruhani anak.

Waktu-waktu tersebut, antara lain, di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari, di antara terbenamnya matahari hingga hilangnya awan merah, sesaat setelah zuhur, tanggal pertama, pertengahan dan akhir setiap bulan, saat terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari, saat bertiupnya angin hitam, merah dan kuning, saat terjadinya gempa dan beberapa waktu yang lain. Rasulullah menganjurkan para suami untuk mengumpuli isteri mereka pada waktu-waktu yang lain.

Kalau diperhatikan, waktu-waktu larangan di atas menunjukkan bahwa sebagiannya bisa berakibat buruk pada mental dan kejiwaan anak, khususnya waktu-waktu yang mencekam dan menakutkan. Bila terjadi persetubuhan di saat itu dan janin terbentuk, anak yang akan dilahirkan akan memiliki jiwa yang tidak stabil dan selalu dicekam rasa takut. Sedangkan sebagian dari waktu-waktu larangan di atas, dapat menyebabkan anak yang dihasilkan dari persetubuhan itu mengidap penyakit-penyakit menakutkan seperti, lepra, idiot, dan bahkan kegilaan.[22]

Selain itu, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAWW dan keluarga beliau yang suci mengajarkan beberapa tata cara bersetubuh. Rasulullah bersabda,

Artinya: Jangan berbicara saat melakukan senggama, karena dikhawatirkan anak yang dihasilkan darinya akan menjadi bisu. Dan jangan sekali-kali melihat kemaluan isteri saat bersetubuh, karena hal itu dapat mengakibatkan kebutaan pada anak. [23]

Beliau juga bersabda,

Artinya: Jika seorang bermimpi junub, makruh baginya untuk mengumpuli isterinya sampai ia mandi. Jika ia mengumpuli isterinya dalam keadaan yang demikian, maka salahkanlah dirinya sendiri jika anak yang lahir dari persetubuhan itu gila.[24]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau bersabda,

Artinya: Jangan kaulakukan senggama dalam posisi berdiri layaknya keledai karena dapat menyebabkan anak mengidap penyakit mengompol. [25]

Hadis Rasulullah SAWW yang lain menyebutkan,

Artinya: Jangan kau kumpuli isterimu dengan nafsumu pada wanita lain, karena aku khawatir anak yang dihasilkan akan menjadi banci, lemah, dan tidak berperasaan.[26]

Dari riwayat di atas kita pahami pula bahwa beliau juga melarang suami membayangkan wanita lain saat bersetubuh dengan isterinya.

Selanjutnya, Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Jika isterimu tengah mengandung, jangan kau kumpuli ia kecuali setelah berwudhu. Jika tidak, dikhawatirkan anak yang akan dilahirkannya menjadi orang yang buta mata hati dan kikir. [27]

Secara umum, Islam mengajarkan kepada para suami untuk selalu mengingat Allah sebelum mengadakan hubungan badan dengan isteri dan membaca basmalah. Selain itu, Islam juga mengajarkan tata cara bersenggama dengan melakukan hal-hal yang dapat menambah rasa cinta dan kasih sayang antara suami isteri, seperti ciuman, pelukan dan kata-kata yang lembut dan manis.[28]
b. Lingkungan Pertama Anak

Rahim ibu merupakan lingkungan pertama yang membentuk seorang manusia. Lingkungan pertama ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan janin. Janin adalah bagian yang tak terpisahkan dari ibu yang mengandungnya. Karena itulah, semua kondisi dan keadaan yang dialami oleh ibu akan berpengaruh terhadap janin.

Hasil studi dan riset yang dilakukan oleh para ahli membuktikan bahwa kesehatan jasmani dan kondisi psikis ibu sangat berpengaruh pada janin. Rasa cemas, kalut, takut, dan sebagainya, dapat mengakibatkan hal yang serupa pada jiwa anak.[29]

“Ketegangan dan goncangan yang dialami oleh seorang ibu hamil akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan pada janin. Bahkan hal itu akan membuat anak yang ia kandung menjadi seorang yang emosional. Karena itu, perlu adanya program bimbingan bagi para ibu hamil untuk menghindarkan semua pikiran yang dapat mengusik ketenangannya dan menciptakan ketegangan dan kece-masan, serta menjaga agar suasana kehidupannya selalu harmonis dan menyenangkan”.[30]

“Masa kehamilan sangat berpengaruh pada kestabilan jiwa dan mental anak”.[31]

Berabad-abad yang lalu, sebelum para ahli psikologi menyingkap masalah ini, Islam telah lebih dahulu menekankan kepada kita untuk memperhatikan hal tersebut.

Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Orang yang sengsara telah sengsara sejak ia berada di perut ibunya dan orang yang berbahagia telah berbahagia sejak ia berada di perut ibunya. [32]

Maksud dari kebahagiaan dan kesengsaraan semasa di perut ibu adalah bahwa kondisi ibu tersebut menciptakan potensi pada janin untuk menjadi bahagia atau sengsara di masa mendatang. Sebagian penyakit yang diidap ibu dapat menular pada anak sehingga ia lahir dengan penyakit bawaan yang ia sandang seumur hidupnya dan ini merupakan sebagian dari kesengsaraan hidup baginya. Atau sebaliknya, ia lahir sehat walafiat dan kesehatannya itu akan ia bawa selama hidupnya dan itu merupakan bagian dari kebahagiaannya.

Demikian pula halnya dengan kondisi spiritual, moral dan kejiwaan, seperti kecemasan dan ketenangan, kerisauan dan kestabilan mental, ketakutan dan sebagainya, semua itu sangat berpengaruh pada anak. Namun pada perkembangan selanjutnya, anak akan dipengaruhi oleh lingkungannya. Ada kalanya lingkungan akan menyelamatkannya dari pengaruh buruk yang ia bawa sejak lahir. Sebaliknya, bisa jadi lingkungan akan merusak potensi baik yang ia bawa sejak lahir.

Berikut ini akan kami jelaskan beberapa ajaran Islam tentang cara menjauhkan janin dan anak dari pengaruh buruk yang mungkin timbul sewaktu berada di dalam kandungan.
1.Perhatian terhadap Makanan Ibu

Para ahli mengatakan bahwa kesehatan janin dalam kandungan tergantung pada kesehatan fisik ibu. Salah satu hal yang mendukung kesehatan ibu adalah makanan yang ia makan. Karena itu, kita saksikan bahwa kelaparan yang melanda beberapa negara berpengaruh besar pada kesehatan anak-anak yang dilahirkan saat itu. Anak-anak tersebut pada umumnya berfisik lemah, mengidap banyak penyakit atau bahkan menderita cacat tubuh, yang kesemuanya itu disebabkan oleh kelaparan atau kekura-ngan gizi ibu-ibu mereka. Keadaan yang sebaliknya akan menghasilkan hal yang sebaliknya pula.

Karena itu, baik Rasulullah SAWW maupun Ahlul Baitnya sangat menekankan pentingnya perhatian terhadap makanan ibu hamil, khususnya makanan yang berpengaruh pada sisi psikis dan spiritual anak. Beberapa makanan yang dianjurkan untuk dimakan ibu selama masa kehamilan adalah sebagai berikut.

a. Buah Pir


Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Makanlah buah pir karena buah itu dapat membuat terang penglihatan dan menumbuhkan rasa cinta di hati. Dan berikanlah buah ini kepada ibu yang sedang mengandung karena dapat mempercantik anak kalian. [33]

b. Luban atau Kemenyan Arab

Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Berilah luban (kemenyan Arab) kepada isteri kalian yang sedang mengandung karena itu dapat mencerdaskan anak yang sedang dikandungnya. [34]

Imam Ali bin Musa Ridha a.s. berkata,

Artinya: Berikanlah luban kepada isteri kalian yang sedang mengandung. Jika bayi yang dikandungnya itu laki-laki, maka anak tersebut akan menjadi anak yang cerdas, pandai, dan pemberani. Dan jika bayi yang kandungnya itu perempuan, maka anak itu akan menjadi cantik paras dan budi pekertinya, serta akan dihormati oleh suaminya.[35]

c. Buah Kurma


Rasulullah SAW bersabda,

Artinya: Berikanlah buah kurma kepada isteri kalian di bulan kesembilan kehamilannya karena hal itu dapat membuat anak yang ia lahirkan menjadi orang berhati lembut dan bersih. [36]

Para Imam Ahlul Bait a.s. telah membuat daftar menu makanan yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh, seperti yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis Ahlul Bait, misalnya Al-Kafi dan Makarim Al-Akhlaq. Makanan-makanan tersebut antara lain adalah buah delima, tin, anggur, kismis, sayuran, dan jenis buah-buahan yang lain, juga daging, bubur daging, dan hijau-hijauan.

Di lain pihak, mereka melarang kita untuk memakan makanan yang membahayakan kesehatan seperti bangkai, darah, daging babi, arak, dan jenis-jenis makanan lain yang telah dilarang dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi SAWW.
2. Perhatian Terhadap Kondisi Kejiwaan Ibu Hamil

Kondisi kejiwaan ibu hamil harus diusahakan agar selalu stabil, tenteram, dan bahagia. Upaya untuk menciptakan kondisi demikian antara lain dengan menyediakan rumah yang luas baginya, mencukupi kebutuhan pokoknya, dan bersikap baik terhadapnya.

a. Rumah yang Luas


Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata,


Artinya: Rumah yang luas adalah bagian dari sebuah kebahagiaan. [37]

Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan,


Artinya: Mukmin akan merasa tenang berada di rumah yang luas.[38]

Pengaruh rumah yang luas terhadap kebahagiaan pribadi dan keluarga sudah dibuktikan oleh para ahli dan Islam juga menekankan hal tesebut. Dalam sebuah masyarakat Islami yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama samawi ini dalam kehidupan sehari-hari, pastilah mereka akan saling bahu membahu dalam memenuhi kebutuhan akan rumah yang luas bagi seluruh anggotanya, juga kebutuhan-kebutuhan yang lain.

Bila seorang suami tidak mampu untuk membeli atau menyewa sebuah rumah yang luas, hendaknya ia meyakinkan isterinya bahwa ia akan giat bekerja agar bisa mendapatkan rumah idaman tersebut. Atau jika tidak, ia dapat menyuruh isteri untuk bersabar atas kondisi ekonomi mereka karena Allah pasti akan memberikan pahala dan kebaikan-Nya kepada mereka jika bersabar hidup dalam kemiskinan. Dengan demikian isteri akan merasa tenang dan senang hati meski hidup di dalam rumah yang kecil dan sempit.

b. Memenuhi Kebutuhan Pokok Isteri

Abdullah bin Atha’ berkata, “Suatu hari aku datang ke rumah Imam Abu Ja’far a.s. Di dalam rumah beliau itu aku melihat ada kasur, bantal, kain seprai, dan sandaran. Akupun bertanya, ‘Untuk apakah semua ini?’ Beliau menjawab, ‘Ini adalah barang yang diperlukan oleh wanita.’ ” [39]

Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang wanita untuk rumahnya seperti bantal, sandaran, dan kasur, juga pakaian-pakaian yang bagus dan perabot rumah tangga, adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Semua itu akan membuat hati dan perasaannya tenang dan berbahagia. Karena itu, tugas yang dipikul oleh suami adalah memenuhi seluruh kebutuhan tadi, tentunya disesuaikan dengan kemampuannya.

Jika suami tidak mampu untuk memenuhinya, atau hanya dapat memenuhi sebahagiannya, ia dapat menyadarkan sang isteri dan menyuruhnya untuk menerima kehendak Tuhan ini, karena Dia juga telah menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang bersabar. Selain itu, ia juga harus berjanji padanya akan lebih giat bekerja agar dapat mengangkat kondisi ekonomi mereka dan memenuhi semua kebutuhan keluarga khususnya isteri.

c. Bersikap Baik Terhadap Isteri


Sikap baik tehadap isteri, khususnya isteri yang sedang mengandung, akan membuat kehidupannya bahagia. Isteri akan merasakan ketenangan dan ketenteraman batin. Dengan demikian, tidak akan ada lagi tempat untuk kerisauan dan ketegangan di hati dan batinnya.

Imam Ali Zainal Abidin a.s. mengatakan,


Artinya: Hak wanita yang engkau nikahi adalah, engkau harus tahu bahwa Allah telah menjadikannya sebagai sumber ketenangan dan ketentraman bagimu serta sebagai penjaga harta dan kehormatanmu. Kalian berdua haruslah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah atas anugerah yang Dia berikan berupa pasangan kalian. Engkau harus tahu bahwa itu semua adalah nikmat Allah atasmu. Karena itu, suami harus memperlakukan isterinya dengan baik, menghormatinya, dan berlemah-lembut terhadapnya, meskipun hak-haknya atas sang isteri lebih besar.

Isteri harus menaati suaminya jika ia memerintahkan sesuatu, selama tidak berupa maksiat kepada Allah. Isteri berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan kelemahlembutan karena dialah yang memberikan ketenangan hati bagi suami. Isterilah yang dapat memuaskan kebutuhan biologis suami yang memang harus disalurkan, dan hal itu adalah sesuatu yang agung ....[40]

Sikap baik suami terhadap isterinya dapat diwujudkan dalam bentuk pergaulan yang baik, lemah lembut terhadapnya, kata-kata yang manis, menghormati dan mendudukkannya di tempat yang layak, memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya, memperlakukan isteri layaknya seorang manusia yang dimuliakan oleh Islam, menciptakan suasana rumah yang dipenuhi dengan keceriaan, kegembiraan, cinta dan kasih sayang, menyenangkan hatinya, dan menjaga semua rahasianya.

Selanjutnya, suami sebaiknya membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang tidak mampu ia lakukan, memaafkan kesalahannya sejauh tidak keluar dari batas-batas agama, bersikap penuh pengertian dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehingga tidak menyinggung perasaannya, menghindari semua hal yang dapat mengganggu ketenangan jiwanya, seperti rasa cemburu yang tidak pada tempatnya, atau bermuka masam terhadapnya, atau bahkan sampai memukul, pisah ranjang dan tidak memenuhi hak-haknya.[41]

Jika perlakuan suami terhadap isteri baik, kondisi psikis isteri menjadi baik pula, dan itu akan memberikan pengaruh yang positif kepada janin yang dikandungnya
BAGIAN PERTAMA
Pendidikan dalam Keluarga

Hubungan antar individu dalam lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kejiwaan anak dan dampaknya akan terlihat sampai kelak ketika ia menginjak usia dewasa. Suasana yang penuh kasih sayang dan kondusif bagi pengembangan intelektual yang berhasil dibangun dalam sebuah keluarga akan membuat seorang anak mampu beradaptasi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya dan dengan masyarakat sekitarnya.

Oleh karena itu, dalam proses pembentukan sebuah keluarga diperlukan adanya sebuah program pendidikan yang terpadu dan terarah. Program pendidikan dalam keluarga ini harus pula mampu memberikan deskripsi kerja yang jelas bagi tiap individu dalam keluarga sehingga masing-masing dapat melakukan peran yang berkesinambungan demi terciptanya sebuah lingkungan keluarga yang kondusif untuk mendidik anak secara maksimal.

Dalam bagian pertama buku ini akan kami paparkan beberapa faktor yang signifikan dalam garis-garis besar pendidikan keluarga menurut ajaran Islam, yaitu sebagai berikut.
1. Keterpaduan Program Pendidikan

Keberadaan sebuah program yang jelas dalam menjalani kehidupan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perilaku seseorang. Jika kita benar-benar yakin pada nilai positif program tersebut dan menjalankannya dengan konsekuen, sebuah karakter positif dalam perilaku kita akan terbentuk. Adanya program hidup yang sama, akan menghasilkan perilaku yang sama pula. Oleh karena itu, program tunggal dapat dijadikan parameter untuk mengetahui sejauh mana tindakan dan perilaku kita sesuai dengan program itu.

Suami isteri harus bersepakat untuk menentukan satu program yang dengan jelas menerangkan hak-hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Islam dengan keterpaduan ajaran-ajarannya menawarkan sebuah konsep dalam membangun keluarga muslim.

Konsep ini adalah konsep rabbani yang diturunkan oleh Allah, Tuhan Yang Maha mengetahui. Dialah yang menciptakan manusia dan Dia pulalah yang paling mengetahui kompleksitas kehidupan manusia. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa konsep yang ditawarkan oleh Islam adalah satu-satunya konsep dan program hidup yang sesuai dengan fitrah manusia.

Konsep Islam adalah sebuah konsep yang secara jelas dan seimbang mendistribusikan tugas-tugas kemanusiaan. Islam tidak pernah memberikan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Konsep ini tidak akan pernah salah, tidak memiliki keterbatasan, dan tidak mungkin mengandung perintah dan tugas yang tidak dapat dilakukan. Penyebabnya tentu saja, karena konseptornya adalah Allah SWT.

Konsep keluarga Islami memberikan prinsip-prinsip dasar yang secara umum menjelaskan hubungan antaranggota keluarga dan tugas mereka masing-masing. Sementara itu, cara pengaplikasian prinsip-prinsip dasar ini bersifat kondisional. Artinya, amat bergantung pada kondisi dan situasi dalam sebuah keluarga dan dapat berubah sesuai dengan keadaan.

Oleh karena itu, kedua orang tua harus bersepakat dalam merumuskan detail pengaplikasian konsep dan program pendidikan yang ingin mereka terapkan sesuai dengan garis-garis besar konsep keluarga Islami. Kesepakatan antara kedua orang tua dalam perumusan ini akan menciptakan keselarasan dalam pola hubungan antara mereka berdua dan antara mereka dengan anak-anak.

Keselarasan ini menjadi amat penting karena akan menghindarkan ketidakjelasan arah yang mesti diikuti oleh anak dalam pendidikannya. Jika ketidakjelasan arah itu terjadi, anak akan berusaha untuk memuaskan hati ayah dengan sesuatu yang kadang bertentangan dengan kehendak ibu atau sebaliknya. Anak akan memiliki dua tindakan yang berbeda dalam satu waktu. Hal itu dapat membuahkan ketidakstabilan mental, perasaan, dan tingkah laku.

Riset para ahli membuktikan bahwa anak-anak yang dibesarkan di sebuah rumah tanpa pengawasan kedua orang tua sekaligus lebih banyak bermasalah dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan pengawasan bersama dari kedua orang tuanya.[1]
2. Hubungan Kasih Sayang

Salah satu kewajiban orang tua adalah menanamkan kasih sayang, ketenteraman, dan ketenangan di dalam rumah. Allah SWT berfirman,

Artinya: Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Ia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tentram dengan mereka. Dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang.[2]

Hubungan antara suami dan isteri atau kedua orang tua adalah hubungan kasih sayang. Hubungan ini dapat menciptakan ketenteraman hati, ketenangan pikiran, kebahagiaan jiwa, dan kesenangan jasmaniah. Hubungan kasih sayang ini dapat memperkuat rasa kebersamaan antaranggota keluarga, kekokohan pondasi keluarga, dan menjaga keutuhannya. Cinta dan kasih sayang dapat menciptakan rasa saling menghormati dan saling bekerja sama, bahu-membahu dalam menyelesaikan setiap problem yang datang menghadang perjalanan kehidupan mereka. Hal ini sangat berperan dalam menciptakan keseimbangan mental anak.

Dr Spock berpendapat sebagai berikut.

“Keseimbangan mental anak sangat dipengaruhi oleh keakraban hubungan kedua orang tuanya dan kebersamaan mereka dalam menyelesaikan setiap masalah kehidupan yang mereka hadapi”.[3]

Suami isteri harus berusaha memperkuat tali kasih di antara diri mereka berdua dalam semua periode kehidupan mereka, baik sebelum masa kelahiran anak mereka maupun setelahnya.

Memperkuat rasa cinta dan kasih sayang merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Karena itu, menjaga keutuhan kasih sayang termasuk dalam perintah Allah dan merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada-Nya. Imam Ali bin Al-Husain Zainal Abidin a.s. mengatakan,

Artinya: Hak wanita yang engkau nikahi adalah engkau harus tahu bahwa Allah telah menjadikannya sebagai sumber ketenangan dan ketentraman bagimu serta sebagai penjaga harta dan kehormatanmu. Kalian berdua haruslah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah atas anugerah yang Dia berikan berupa pasangan kalian. Engkau harus tahu bahwa itu semua adalah nikmat Allah atasmu. Karena itu, suami harus memperlakukan isterinya dengan baik, menghormatinya, dan berlemah-lembut terhadapnya, meskipun hak-haknya atas sang isteri lebih besar.Isteri harus menaati suaminya jika ia memerintahkan sesuatu, selama tidak berupa maksiat kepada Allah.

Isteri berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan kelemah-lembutan karena dialah yang memberikan ketenangan hati bagi suami. Isterilah yang dapat memuaskan kebutuhan biologis suami yang memang harus disalurkan, dan hal itu adalah sesuatu yang agung.[4]

Ahlul Bait a.s. memberikan perhatian yang sangat besar terhadap keutuhan cinta kasih dalam sebuah keluarga. Anjuran-anjuran mereka berikut ini ditujukan kepada kedua pihak, suami dan isteri.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAWW bersabda,


Artinya: Lelaki terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap isterinya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteri.[5]

Imam Ja’far bin Muhammad Shadiq a.s. dalam sebuah hadis mengatakan,


Artinya:Semoga Allah merahmati orang yang bersikap baik terhadap isterinya.[6]

Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Jika seseorang menikahi seorang wanita,ia harus berbuat baik kepadanya. [7]

Beliau juga bersabda,

Artinya: Jibril sering berpesan kepadaku tentang wanita, sampai-sampai aku merasa bahwa wanita tidak berhak untuk diceraikan kecuali jika telah melakukan zina dengan terang-terangan.[8]

Anjuran-anjuran dan arahan yang diberikan oleh Nabi SAWW dan Ahlul Bait a.s. mengenai sikap baik dan penghormatan terhadap istri ini merupakan acuan penting yang harus diterapkan dalam rangka menciptakan kelanggengan hubungan cinta dan kasih sayang antara keduanya di dalam keluarga.

Di lain pihak, Ahlul Bait a.s. juga berpesan kepada kaum wanita untuk melakukan segala hal yang dapat menumbuhkan dan menjaga cinta dan kasih sayang dalam rumah tangga. Rasulullah Muhammad SAWW dalam hal ini bersabda,

Artinya: Jika seorang wanita telah melakukan kewajibannya shalat lima waktu, berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, maka ia berhak untuk masuk ke dalam surga melalui pintu manapun yang ia sukai.[9]

Selain itu beliau juga bersabda,


Artinya: Setelah nikmat Islam, tak ada satupun nikmat yang melebihi isteri muslimah yang shalihah, yaitu isteri yang membuat suami senang saat memandangnya, patuh padanya saat ia menyuruhnya melakukan sesuatu, dan menjaga dirinya dan harta suaminya di saat sang suami tidak berada di rumah.[10]

Diriwayatkan bahwa seorang sahabat pernah mendatangi Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, aku memiliki seorang isteri yang selalu menyambutku ketika aku datang dan mengantarku saat aku keluar rumah. Jika ia melihatku termenung ia selalu menyapaku dan mengatakan, ‘Ada apa denganmu? Apa yang kau risaukan? Jika kau risau akan rezekimu, ketahuilah bahwa rezekimu ada di tangan Allah. Tapi jika kerisauanmu karena urusan akhirat, semoga Allah menambah rasa risaumu itu.’”

Setelah mendengar cerita sahabat beliau tersebut, Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Berilah kabar gembira kepadanya tentang surga yang tengah menantinya! Dan katakan padanya, bahwa ia termasuk salah satu pekerja Allah. Allah SWT menuliskan baginya setiap hari pahala tujuh puluh orang yang gugur di jalan Allah. (dalam riwayat lain disebutkan), ‘Ketahuilah bahwa Allah memiliki banyak pekerja, dan ia termasuk salah satu dari mereka. Allah akan memberinya setengah dari pahala orang syahid.’ [11]

Imam Muhammad Baqir a.s. berkata,

Artinya: Jihad bagi wanita adalah berbuat baik pada suaminya.[12]

Salah satu hal yang membantu dalam menambah rasa cinta, kasih sayang, dan perhatian suami adalah kepasrahan isteri pada suami saat ia menginginkan dirinya. Imam Ja’far Shadiq a.s. mengatakan,

Artinya: Wanita terbaik adalah yang saat berduaan dengan suaminya ia menanggalkan semua rasa malunya dan jika ia memakai kembali pakaiannya ia kenakan lagi rasa malunya.[13]

Isteri sudah semestinya bersikap terbuka dan tidak malu-malu terhadap suaminya dengan tetap menjaga rasa hormat padanya. Dengan kata lain, seorang istri perlu menjaga keseimbangan antara sikap hormat dan terbuka.

Imam Ali bin Al-Husain a.s. menyebutkan beberapa faktor penting yang dapat menambah rasa cinta, kasih sayang, dan keakraban dalam keluarga, yaitu sebagai berikut.

Artinya: Seorang lelaki hendaknya memperhatikan tiga hal berikut ini dalam berhubungan dengan isterinya:

Pertama, memahami keadaan isteri, karena dengan itu ia dapat menarik perhatian isterinya untuk memahami keadaannya dan lebih mencintainya.

Kedua, bersikap baik terhadap isteri dan berusaha merebut hatinya dengan penampilan lahir yang menarik.

Ketiga, memaafkan kesalahan isteri.

Seorang wanita hendaknya memperhatian tiga hal berikut ini dalam pergaulannya dengan suami:

Pertama, menjaga diri dari segala kotoran dan noda, sehingga sang suami merasa tenang dengan keadaannya, baik di saat senang maupun di saat susah.

Kedua, mempercayai suami, karena hal itu dapat membuat sang suami mudah memaafkannya di kala ia melakukan kesalahan.

Ketiga, menampakkan rasa cinta kepadanya dengan berpenampilan menarik.[14]

Hubungan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang sangat diperlukan dalam semua fase kehidupan, khususnya pada masa kehamilan. Sebab di masa-masa itu, isteri sangat memerlukan ketenangan dan keseimbangan mental. Hal itu sangat mempengaruhi keselamatan janin selama dalam kandungan dan keselamatan anak di masa menyusui.
3. Menjaga Hak dan Kewajiban

Di dalam konsep keluarga Islami telah ditentukan hak-hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak suami dan isteri. Konsep ini jika benar-benar dijalankan akan menjamin ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga. Jika suami dan isteri konsisten dengan kewajiban dan hak-hak mereka, hal itu akan dapat mempererat tali cinta dan kasih antara mereka. Selain itu, hal ini dapat menjauhkan segala kemungkinan timbulnya perselisihan dan pertengkaran yang mengancam keutuhan rumah tangga yang dengan sendirinya berdampak negatif pada kejiwaan anak.

Hak terpenting yang dimiliki oleh suami adalah kepemimpinan dalam keluarga. Allah SWT berfirman,

Artinya: Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.[15]

Isteri berkewajiban untuk menghormati hak suami ini dan menjadikan suami sebagai pemimpin karena kehidupan rumah tangga tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa ada yang mengaturnya dan karena kepe-mimpinan layak untuk dipegang oleh kaum lelaki, sesuai dengan perbedaan yang ada antara suami dan isteri dalam hal fisik dan perasaan. Di samping itu, isteri juga harus menunjukkan kepemimpinan suami dalam keluarga di hadapan anak-anaknya.

Hak penting kedua bagi suami setelah kepemimpinan dalam keluarga dapat kita simpulkan dari riwayat berikut ini. Diceritakan bahwa seorang wanita datang dan bertanya kepada Rasulullah SAWW tentang hak suami atas isterinya. Dalam jawabannya, beliau bersabda,

Artinya: Isteri harus patuh dan tidak menentangnya. Ia tidak berhak untuk bersedekah apapun yang ada di di rumah suami tanpa izin sang suami. Selain itu, ia tidak diperbolehkan untuk berpuasa sunnah kecuali jika suami mengizinkannya. Selanjutnya, ia tidak boleh menghindar kala suaminya menginginkan dirinya walaupun ia sedang dalam kesulitan. Isteri tidak diperkenankan untuk keluar dari rumah kecuali dengan izin suami….[16]

Dalam hadis yang lain Rasulullah SAWW menye-butkan hak-hak suami sebagai berikut.

Artinya: Hak suami atas isteri adalah bahwa isteri hendaknya menyalakan lampu untuknya, memasakkan makanan, menyambutnya di pintu rumah kala ia datang, membawakan untuknya bejana air dan kain sapu tangan lalu mencuci tangan dan mukanya, dan tidak menghindar saat suami menginginkan dirinya kecuali jika ia sedang sakit.[17]

Mengingat pentingnya perhatian terhadap hak-hak suami tersebut, Rasulullah SAWW mengatakan,

Artinya: (Ketahuilah) bahwa wanita tidak pernah akan dikatakan telah menunaikan semua hak Allah atasnya kecuali jika ia telah menunaikan kewajibannya kepada suami.[18]

Di lain pihak, Islam juga telah menentukan hak-hak isteri yang harus diperhatikan oleh suami. Imam Ja’far Shadiq a.s., saat ditanya oleh Ishaq bin Ammar mengenai hak wanita atas suaminya, mengatakan,

Artinya: (Kewajiban suami atas isterinya adalah) memberinya makanan dan pakaian dan memaafkannya jika ia melakukan kesalahan.[19]

Khaulah binti Al-Aswad pernah mendatangi Rasulullah SAWW dan bertanya tentang hak wanita. Beliau dalam jawabannya mengatakan,

Artinya: Hak-hakmu atas suami adalah bahwa ia harus memberimu makan dengan makanan yang ia makan dan memberimu pakaian seperti ia juga berpakaian, tidak menampar wajahmu, dan tidak membentakmu. [20]

Hak istri yang lain adalah bahwa suami harus memperlakukannya dengan lemah lembut dan bersikap baik terhadapnya.

Hak istri dan seluruh anggota keluarga selanjutnya adalah bahwa suami harus bekerja untuk dapat memenuhi semua kebutuhan materi mereka. Rasulullah SAWW dalam hal ini bersabda,


Artinya: Orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya sama dengan orang yang pergi berperang di jalan Allah. [21]

Beliau juga bersabda,

Artinya: Terkutuklah! Terkutuklah orang yang tidak memberi nafkah kepada mereka yang menjadi tanggung jawabnya. [22]

Dalam hadis yang lain beliau bersabda,

Artinya: Hak isteri atas suami adalah bahwa suami harus memberinya makan, menutupi auratnya, dan tidak memakinya. Jika seorang lelaki telah melakukan kewajibannya ini berarti ia telah menunaikan hak Allah atasnya. [23]

Baik suami maupun isteri harus saling memperhatikan dan menghormati hak pasangannya demi terciptanya suasana cinta dan kasih sayang dan keharmonisan dalam keluarga. Adanya sikap saling menghormati di antara keduanya akan mendorong masing-masing pihak untuk menunaikan semua hal yang menjadi kewajibannya demi kebahagiaan keluarga.

Kebahagiaan yang berhasil diciptakan akan menciptakan keseimbangan mental isteri selama masa kehamilan, menyusui, serta pada tahun-tahun awal umur anak, yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi keseimbangan dan kestabilan mental anak. Anak yang tumbuh dengan mental yang baik dan stabil, pikiran dan perilakunya akan berkembang dengan baik dan stabil pula serta akan dengan mudah menuruti semua anjuran dan nasehat diberikan kepadanya.
4. Menghindari Perselisihan

Pertengkaran dan perselisihan yang terjadi dalam keluarga akan menyebabkan suasana yang panas dan tegang yang dapat mengancam keutuhan dan kehar-monisan rumah tangga. Tidak jarang, pertengkaran itu berakhir dengan perceraian dan kehancuran keluarga. Fenomena ini merupakan salah satu hal yang paling dikhawatirkan oleh semua anggota keluarga, termasuk di dalamnya anak-anak.

Suasana yang menegangkan dalam rumah sangat berdampak negatif terhadap perkembangan dan pembentukan jati diri anak.

“Kelabilan sikap dan penyakit-penyakit kejiwaan yang diderita oleh anak-anak belia dan orang dewasa, disebabkan oleh perlakuan tidak benar yang diperlihatkan oleh orang tua mereka, seperti pertengkaran yang menyebabkan suasana dalam rumah panas dan menegangkan. Hal seperti itu membuat anak tidak merasa aman berada di dalam rumah”.[24]

Profesor Richard Fougen berpendapat bahwa,

“Ibu yang tidak diperlakukan dengan layak sebagai seorang manusia, sebagai ibu bagi anak-anaknya, dan sebagai isteri bagi suaminya, tidak akan mampu memberikan rasa aman pada diri anak-anaknya”.[25]

Perasaan aman dan tenang merupakan salah satu faktor terpenting dalam membangun kepribadian anak secara benar dan sempurna. Perasaan semacam ini tidak akan didapatkan dalam lingkungan yang selalu diliputi oleh ketegangan dan pertengkaran.

Dalam keadaan seperti itu, anak akan berada dalam kebingungan dan kebimbangan. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Posisinya tidak memungkinkan baginya untuk menyelesaikan pertengkaran kedua orang tuanya, apalagi jika pertengkaran tersebut sampai menggunakan kekerasan. Di satu sisi, ia tidak mungkin akan berpihak pada salah satu dari orang tuanya.

Lebih dari itu, kebingungan anak akan memuncak kala masing-masing pihak yang berselisih berusaha untuk menarik dukungannya dengan menyebutkan bahwa pihaknyalah yang benar, sedangkan lawannyalah yang bersalah dan memulai menyulut api pertengkaran ini. Semua itu meninggalkan kesan negatif di hati, pikiran, dan perasaan si anak.

Dr Spock berpendapat sebagai berikut.

“Riset yang dilakukan oleh para ahli terhadap ribuan anak yang tumbuh besar di tengah-tengah keluarga yang selalu diliputi oleh ketegangan membuktikan bahwa mereka ketika menginjak usia dewasa akan merasa bahwa mereka tidak seperti orang-orang lain pada umumnya. Mereka kehilangan rasa percaya diri. Mereka pun takut untuk menjalin hubungan cinta yang sehat dengan orang lain, karena mereka selalu membayangkan bahwa membangun keluarga berarti menempatkan dirinya di suatu tempat yang dihuni oleh orang-orang yang selalu berselisih dan bertengkar satu dengan yang lainnya”.[26]

Setiap keluarga memiliki masalah yang berpotensi memicu percekcokan di antara mereka. Cara melampiaskan kekesalan dan kemarahan masing-masing pun berbeda. Sebagian orang terbiasa untuk menggunakan kata-kata kotor, makian, dan hinaan. Sebagian yang lain terbiasa untuk melayangkan tangan ketika amarahnya memuncak.

Saat menyaksikan adegan demikian, anak-anak akan belajar untuk mempraktekkannya ketika terlibat pertengkaran dengan kawan-kawannya. Hal itu akan mempengaruhi tingkah laku mereka saat kanak-kanak maupun saat menginjak usia dewasa nanti. Karena itulah kita banyak menyaksikan ataupun mendengar adanya anak yang sampai memaki ibunya atau bahkan memukulnya. Dan terkadang pula, si anak akan menggunakan apa yang ia pelajari itu terhadap isterinya ketika kelak menginjak usia dewasa.

Untuk mencegah terjadinya pertengkaran dan percekcokan antara suami dan isteri, atau paling tidak, mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap psikis dan mental, atau jika mungkin, menghilangkannya sama sekali, Islam telah mengenalkan sebuah konsep sempurna dalam menyelesaikan pertengkaran dan perselisihan dalam keluarga.

Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa Islam sangat menekankan pentingnya mempererat tali cinta kasih dalam keluarga. Selain itu juga telah disebutkan hak-hak dan kewajiban suami dan istri. Dalam ajaran Islam pun disebutkan tentang pentingnya proses seleksi dengan standar nilai Islam ketika memilih calon suami atau istri.

Semua ini dimaksudkan untuk mencegah perselisihan yang mungkin terjadi dalam keluarga. Namun jika tanda-tanda munculnya percekcokan sudah nampak, atau bahkan percekcokan itu telah terjadi, Islam menawarkan cara untuk mengakhirinya. Selain itu, Islam juga mengecam pihak yang memicu perselisihan dan memperingatkan semua pihak agar waspada terhadap masalah ini.

Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Lelaki terbaik dari umatku adalah orang tidak menindas keluarganya, menyayangi mereka dan tidak berlaku zalim.[27]

Imam Muhammad Baqir a.s. dalam sebuah hadis menganjurkan para suami untuk bersabar menerima perlakuan buruk, sebab membalas keburukan dengan keburukan akan membuat area perselisihan bertambah luas. Beliau mengatakan,

Artinya: Orang yang sabar dalam menerima perlakuan buruk istrinya, meskipun hanya sebatas satu kata, niscaya akan dibebaskan Allah dari siksa api neraka dan ditempatkannya di dalam surga.[28]

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAWW menghimbau para suami untuk bersabar atas perlakuan buruk isterinya. Beliau bersabda,

Artinya: Jika seseorang bersabar atas perlakuan buruk isterinya, Allah akan memberinya pahala seperti yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub a.s. yang tabah dan sabar menghadapi ujian-ujian Allah yang berat. [29]

Bersabar terhadap perlakuan buruk isteri adalah hal yang mungkin dianggap tidak wajar oleh kaum lelaki. Tetapi dengan adanya perintah dan anjuran Nabi SAWW dan Ahlul Bait a.s., hal tersebut menjadi suatu yang sunnah yang akan dengan senang hati dijalankan oleh kaum lelaki yang beriman. Tanpa merasakan adanya kehinaan dan kerendahan bagi martabatnya sebagai suami, ia akan bersabar terhadap perlakuan buruk isterinya itu.

Meniru perilaku Rasulullah SAWW terhadap isteri-isteri beliau dan perilaku Ahlul Bait a.s. dapat meminimalkan timbulnya pertengkaran dalam keluarga. Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata,

Artinya: Ayahku pernah mempunyai seorang isteri yang sering menyakitinya. Namun, ayahku selalu mema-afkannya. [30]

Rasulullah SAWW melarang para suami untuk menggunakan kekerasan terhadap isterinya dalam hadis berikut ini.

Artinya: Barang siapa melayangkan tamparan ke pipi isterinya satu kali, Allah akan memerintahkan malaikat penjaga neraka untuk membalas tamparan itu dengan tujuh puluh kali tamparan di neraka jahanam. [31]

Di pihak lain, kaum wanita pun dianjurkan untuk bersikap yang sama. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ja’far Shadiq a.s. menganjurkan kaum wanita untuk sedapat mungkin untuk menghindari pertengkaran yang buruk. Beliau berkata,

Artinya: Wanita terbaik adalah wanita yang ketika marah atau membuat suaminya marah, berkata kepada suaminya itu, “Aku letakkan tanganku di tanganmu. Aku bersumpah untuk tidak tidur sebelum engkau mema-afkanku.” [32]

Imam Muhammad Baqir a.s. berkata,

Artinya: Jihad bagi seorang wanita adalah bersabar terhadap perlakuan buruk dan rasa cemburu suaminya.[33]

Rasulullah SAWW melarang isteri untuk melakukan tindakan yang dapat memancing timbulnya pertengkaran. Beliau bersabda,

Artinya: Wanita terburuk adalah wanita yang hina dalam keluarganya tetapi merasa mulia di hadapan suami; yang mandul dan selalu merasa dengki; yang tidak berhenti melakukan perbuatan buruk; yang selalu berhias kala suami bepergian dan bersikap sombong kala suami ada; yang tidak mendengar kata-kata suami dan tidak menuruti perintahnya; yang jika berduaan dengan suaminya akan menolak ajakannya; dan yang tidak pernah mau memaafkan kesalahan suami dan tidak menerima alasannya. [34]

Rasulullah SAWW dalam hadisnya melarang wanita untuk membebani suami dengan sesuatu yang di luar kemampuannya. Beliau bersabda,

Artinya: Wanita yang memaksa suaminya untuk memberikan nafkah di luar batas kemampuannya, tidak akan diterima Allah SWT amal perbuatannya sampai ia bertaubat dan meminta nafkah semampu suaminya.[35]

Selain itu Rasulullah SAWW juga melarang wanita untuk mengungkit-ungkit kelebihannya atas suami. Beliau bersabda,

Artinya: Seandainya seorang wanita datang ke rumah suaminya dengan membawa serta bersamanya seluruh kekayaan bumi dari emas dan peraknya, lalu pada suatu saat ia mengangkat kepalanya di hadapan suami sambil mengatakan, “Siapa kau ini? Bukankah seluruh harta ini adalah milikku?”, Allah akan menghapus semua amalan baiknya meskipun ia adalah orang yang paling banyak beribadah, kecuali bila ia bertaubat dan meminta maaf kepada suaminya. [36]

Rasulullah SAWW juga mengingatkan para wanita untuk tidak menggunakan kata-kata kasar yang dapat membangkitnya amarah suami saat berhadapan dengannya. Beliau bersabda,


Artinya: Jika seorang wanita menyakiti suaminya dengan kata-kata, Allah tidak akan menerima seluruh amalan baiknya sampai sang suami memaafkannya. [37]

Dalam hadisnya yang lain, Rasulullah SAWW melarang suami isteri tidak menyapa satu sama lain, karena hal itu merupakan awal perpisahan dan terputusnya hubungan antara mereka. Beliau bersabda,

Artinya: Jika seorang wanita mendiamkan suaminya padahal ia adalah pihak yang salah dan berlaku zalim terhadapnya, Allah kelak akan mengumpulkannya bersama dengan Fir’aun, Haman, dan Qarun di dasar neraka, kecuali jika ia bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. [38]

Semua perintah dan anjuran di atas, jika dijalankan dengan baik dan sempurna, akan menjamin keselamatan keluarga dari pertengkaran dan percekcokan atau paling tidak meminimalkannya. Namun bila pasangan suami isteri tidak mampu menjalankannya dengan baik, maka hendaknya pertengkaran yang terjadi di antara mereka tidak didengar oleh anak-anak. Sebaiknya, anak-anak tidak mendengar tuduhan-tuduhan, kata-kata kotor, dan makian yang terlontar dari kedua orang tua mereka.

Kewajiban orang tua adalah menjelaskan kepada anak-anak mereka bahwa pertengkaran dalam sebuah keluarga adalah hal yang wajar dan mereka berdua masih saling mencintai. Selain itu, mereka berdua juga harus secepatnya mencari jalan penyelesaian kemelut yang melanda rumah tangga mereka itu.
5. Ancaman Perceraian

Islam memperingatkan setiap pasangan suami istri tentang dampak negatif perceraian dan putusnya tali ikatan perkawinan. Dampak negatif tersebut akan menimpa kondisi psikis mereka berdua, anak-anak, dan juga masyarakat.

Perceraian adalah sumber kegelisahan dan kelabilan psikis, perasaan, dan tingkah laku anak karena ia sangat membutuhkan cinta dan kasih sayang yang seimbang dari ayah dan ibunya. Bahkan, seorang anak hanya dengan memikirkan dan mengkhayalkan perceraian kedua orang tua, akan merasa gelisah. Jika hal itu berkelanjutan akan berdampak negatif pada kestabilan perasaan dan kejiwaannya.

Sehubungan dengan hal ini, Islam telah menawarkan sebuah konsep dalam menjaga hubungan baik antara suami isteri untuk menghindarkan perceraian dan kehancuran rumah tangga. Dalam banyak nash, Islam bahkan melarang perceraian. Rasulullah SAWW bersabda,

Artinya: Jibril sering berpesan kepadaku tentang talak (perceraian), sampai-sampai aku mengira bahwa wanita tidak boleh dicerai kecuali jika telah melakukan perbuatan zina dengan terang-terangan.[39]

Imam Ja’far Shadiq a.s. mengatakan,


Artinya: Tidak ada sesuatu yang halal yang lebih Allah benci daripada perceraian. Allah sangat membenci orang lelaki yang gemar menceraikan isteri dan sering kawin hanya untuk menikmati wanita sesaat saja. [40]

Beliau juga berkata,


Artinya: Sesungguhnya Allah SWT menyenangi rumah yang di dalamnya terdapat orang yang baru menikah, dan membenci rumah yang di dalamnya terdapat perceraian. Tidak ada sesuatupun yang lebih Allah benci daripada perceraian. [41]

Selain itu Islam, juga menganjurkan semua pasangan untuk menyusun strategi demi menghindari perceraian. Islam mengajak para suami istri untuk mempererat tali cinta kasih di antara mereka dan menghimbau agar secepatnya menyelesaikan semua masalah dan pertikaian di antara keduanya yang dapat mengakibatkan perceraian. Karena itulah, kita temukan dalam banyak nash agama adanya perintah untuk bergaul dengan baik dengan pasangan kita. Allah SWT berfirman,



Artinya: ...Bergaullah dengan isteri-isteri kalian dengan cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena mungkin saja kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang berlimpah. [42]

Islam juga telah mengajarkan untuk mengadakan perbaikan hubungan demi mengembalikan suasana harmonis dalam keluarga. Allah SWT berfirman,



Artinya: Jika seorang wanita merasa khawatir terhadap sikap tak acuh suami terhadapnya, ia dapat mengusahakan perdamaian di antara mereka berdua. Perdamaian itu adalah sesuatu yang baik.... [43]

Mengadakan perdamaian antara suami dan isteri lebih baik daripada meninggalkannya. Melihat kenyataan bahwa hati manusia dapat berubah-ubah dan kehendak sewaktu-waktu dapat berbalik, Islam menekankan kepada suami dan isteri untuk melakukan upaya perdamaian sebelum mengambil keputusan untuk saling berpisah. Allah SWT berfirman,

Artinya: Jika kalian mengkhawatirkan adanya pertikaian antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari masing-masing pihak, suami dan isteri. Jika mereka berdua bermaksud mengadakan perbaikan, Allah pasti akan memberikan taufik-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui dan Maha mengenal. [44]

Jika semua usaha perbaikan hubungan dan upaya untuk mengembalikan keadaan seperti sediakala tidak membuahkan hasil, dan jika semua pertikaian dan perselisihan yang ada tidak bisa diselesaikan kecuali dengan perceraian, saat itulah mungkin perceraian merupakan jalan terbaik bagi mereka berdua.

Walaupun demikian, anak tetap akan mendapatan pukulan yang hebat dari perpisahan kedua orang tuanya tersebut dan ini akan terlihat pada perubahan tingkah lakunya. Karena itu, Islam masih memberikan peluang kepada mereka berdua untuk kembali membangun rumah tangga mereka. Islam memberikan kesempatan kepada suami untuk merujuk isterinya saat ia masih berada dalam masa iddah atau menikahinya dengan ijab qabul baru jika wanita itu telah keluar dari masa iddah. Selain itu, ia masih dapat merujuk setelah menceraikan isterinya sebanyak dua kali.

Jika semua usaha perbaikan hubungan ini tidak membuahkan hasil dan perpisahan benar-benar terjadi, mereka berdua berkewajiban untuk menjaga perasaan anak-anak dengan mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Selain itu, mereka berdua harus memberikan pengertian kepada anak-anak, bahwa baik ayah maupun ibu mereka adalah orang-orang yang baik. Islam melarang kita untuk berdusta, bergunjing, serta membongkar aib dan cela orang lain. Dengan demikian, anak akan dapat mengatasi masalah dan benturan psikis yang ditimbulkan oleh perceraian orang tuanya.

Jika anjuran dan himbauan ini tidak diperhatikan dan masing-masing pihak saling melemparkan tuduhan kepada pihak lain serta membongkar aib dan kesalahannya kepada anak, si anak akan membenci kehidupan dan merasa rendah diri. Lebih jauh lagi, hal itu akan berpengaruh pada perasaannya terhadap orang tuanya. Ia akan membenci dan sekaligus mencintai mereka pada saat yang sama setelah mengetahui cela dan kesalahan masing-masing. Anak yang demikian ini akan selalu dihinggapi oleh rasa gelisah dan kekhawatiran. Kegelisahannya hari demi hari akan bertambah, dan hal itu berpengaruh buruk pada kehidupan sosialnya dan rumah tangganya di masa mendatang.