Senin, 09 Februari 2009

Artikel Populer

APA ITU PENDIDIKAN?




Orang-orang Yunani Lama, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama "membantu" dan kedua "manusia".
Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah maka sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Perlu dibantu. Jadi, tujuan mendidik ialah manusia yang telah menjadi manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas.
Apa manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan ada tiga syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air; dan ketiga berpengetahuan.
Kemampuan mengendalikan diri memang penting dalam kehidupan ini. Ini telah diketahui sejak dulu sekali. Pada tahun 1995 muncul buku Goleman yang menjelaskan betapa pentingnya kemampuan mengendalikan diri tersebut. Ia menyebutnya emotional intelligence (EI) yang sering disingkat dengan EQ (emotional quotient) . Ia mengatakan bahwa EI atau EQ lebih penting ketimbang IQ. Nah, orang Yunani telah mengetahui hal itu. Pythagoras, salah seorang filosof besar pada zaman itu memberi syarat pada murid-muridnya agar murid-muridnya tidak makan kacang tanah dan ayam putih. Katanya, dua jenis makanan ini akan menyebabkan sulit mengendalikan diri.
Orang-orang zaman sekarang juga memahami pentingnya seseorang memiliki kemampuan mengendalikan diri. Sering orang tua menasehati menantunya agar mampu mengendalikan diri tatkala dapat uang banyak, tatkala memperoleh kesuksesan. Sering orang menasehati orang lain agar sabar; sabar adalah salah satu ciri kemampuan mengendalikan diri. Ya, ini memang penting. Banyak orang menyesali perceraiannya karena tatkala ia mengucapkan talak cerai itu ia dalam keadaan tidak mampu mengendalikan diri; banyak orang yang putus pertunangannya gara-gara ketelanjuran dan itu adalah ciri kurang mampu mengendalikan diri. Banyak yang jatuh dari tempat tinggi karena kurang mampu mengendalikan diri. Jatuh dengan cara seperti itu akan dirasakan amat sakit. Menyesal, malu, rugi. Kok hanya gara-gara ketelanjuran. Ketelanjuran adalah salah satu ciri kurang memiliki kemampuan mengendalikan diri. Pepatah lama mengatakan mulut kamu harimau kamu, akan menerkam kepala kamu. Maksud pepatah ini ialah banyak orang celaka karena ketelanjuran dalam bicara dan ia celaka oleh pembicaraannya itu.
Jika orang telah mampu mengendalikan diri, itu berarti ia telah memiliki akhlak mulia. Nah dengan sendirinya cinta pada tanah air juga akan tinggi. Cinta tanah air orang Yunani Lama itu adalah dalam arti cinta pada tempat tinggal. Konsep inilah yang menjadi cikal bakal pelajaran civic atau kewarganegaraan yang kita kenal sekarang. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sampai sekarang inti civic tetap saja cinta tempat tinggal. Civic justru akan rusak bila pengertiannya digeser dari pengertian itu. Ya, cinta tempat tinggal: jangan merusak alam, tidak membuang sampah sebarangan, jangan mencorat coret tembok, jangan mengganggu ketenangan tetangga. Bila yang seperti itu terujud, maka kehidupan akan menjadi kehidupan yang enak. Bener juga.
Bila konsep ini digeser, misalnya menjadi cinta bangsa, maka bahayanya ialah chauvinisme, bila disempitkan maka akan leih berbahaya lagi. Bila diubah menjadi cnta dunia, maka konsep akan diterima sebagai terlalu luas dan abstrak. Memang yang terbaik ialah cinta tempat tinggal. Di mana pun ia tinggal ia akan menyintai tempat itu, sekalipun ia tinggal di negara orang lain.
Manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Intinya ialah orang harus mampu berpikir benar. Mendengar ini mungkin akan ada orang bertanya, apa ada orang yang berpikir tidak benar. Banyak, orang gila misalnya. Orang yang sudah kuat secara ekonomi, tetapi masih mencuri atau korupsi juga, jelas itu orang yang tidak mampu berpikir benar. Orang seperti itu sebenarnya sejenis orang gila, ia orang yang sakit jiwa. Orang Yunani beranggapan berpikir cara filsafat atau berfilsafat adalah latihan terbaik untuk mampu berpikir benar.
Yang di atas itu adalah aspek pertama pendidikan yaitu tentang konsep manusia. Konsep itu masih layak dipakai sekarang. Masih bagus.
Aspek pendidikan yang kedua ialah menolong. Mengapa menolong, bukan mencetak, atau mewujudkan? Ya, karena pendidik mengetahui bahwa pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Tetapi, ada juga potensi untuk menjadi bukan manusia, menjadi binatang misalnya. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa orang yang dididik itu ada juga yang gagal menjadi manusia. Misalnya, ada juga beberapa tamatan perguruan tinggi yang punya sifat ingin menang sendiri (ini bukan sifat seseortang sebagai manusia), ada juga yang sudah kaya tetapi masih korupsi (ini juga bukan sifat manusia). Kegagalan pendidik dalam membantu manusia menjadi manusia itu memang ada, tetapi hanya sedikit.
Pendidik berpendapat batu tidak mungkin ditolong menjadi manusia, karena, ya itu tadi, batu tidak memiliki potensi menjadi manusia. Dari sinilah pendidik mengetahui bahwa dalam mendidik pendidik itu harus mengetahui poteni-potensi anak didiknya. Ini bidang psikologi; karena itu pendidik yang baik tentu mengetahui psikologi mengenai potensi-potensi itu.
Kata "menolong" juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar menolong. Jadi, pendidik jauh sebelum berbuat telah mengetahui bahwa muridnya itu nanti ada yang akan berhasil menjadi manusia dan ada yang tidak.
Apakah pendidik salah bila ia gagal? Pendidik biasanya merasa bersalah. Tetapi sebenarnya pedidik itu tidak bersalah. Itu hanya pembenaran terhadap teori "menolong" itu saja. Pendidik dapat saja gagal menolong muridnya.
Kata "menolong" juga mengkiaskan agar pendidik tidak sombong. Bila berhasil maka hasil itu adalah berkat usaha murid itu sendiri dan usaha dari orang lain atau pengaruh dar lainnya, sebagiannya merupakan hasil si pendidik. Kata "menolong" juga mengajarkan kepada pendidik bahwa ia mestilah melakukan pertolongan itu dengan kasih saying. Kata kasih sayang itu telah terdapat di dalam kata menolong itu. Tidak ada pertolongan yang kosong dari kasih saying. Konsekwensinya ialah pendidik tidak akan berhasil menolong bila dalam menolong itu tidak ada rasa kasih sayang kepada yang ditolong. Kata "menolong" juga mengandung pengertian selalu ke arah benar. Itu pun sudah terdapat dalam kata menolong itu. Jadi, pendidik itu harus menolong murid, dan pertolongannya itu harus berisi sesuatu yang benar. Karena itulah pendidik tidak mengenal istilah "mendidik anak mencuri, atau mendidik anak membohong". Sebab "mencuri" dan "membohong" itu tidak ada dalam kata menolong. Al-Qur`an menegaskan "tolong menolonglah kamu dalam kebaikan" , itu hanyalah menegaskan.
Sekarang banyak orang mengharap gaji terlalu banyak dari kerja mendidik. Akibatnya biaya pendidikan menjadi sangat mahal. Seringkali orang berpikir bahwa adalah wajar saja jika pendidik meminta upah yang tinggi dari kerja mendidik. Seolah dalam dirinya ia berkata, apa sih bedanya kerja mendidik dengan kerja mengelas atau nyopir? Jika kerja sebagai pilot meminta bayaran tinggi mengapa kerja mendidik -yang nota bene menghasilkan pilot- tidak wajar menuntut gaji yang tinggi? Begitulah berbagai pertanyaan muncul yang diakui atau tidak, di belakang pertanyaan itu tersimpan sifat kurang sayang pada murid. Sayang kepada murid dalam pendidikan dikatakan sama dengan sayang kepada anak sendiri. Itu suatu hal yang sungguh tidak mungkin. Yang mungkin ialah sayang dalam bentuk prihatin, khawatir, kalau-kalau murid itu tidak berkembang menjadi manusia yang diharapkan.
Kapan pendidikan bagi seseorang dimulai, dan kapan berakhir? Pertanyaan ini sudah lama sekali muncul di kalangan ahli pendidikan. Agama Islam mengatakan sejak buaian sampai liang kubur. Para ahli pendidikan mengatakan pendidikan berlaku sepanjang hayat (life long education). Ahli lain mengatakan pendidikan tidak pernah berhenti. Tiga pernyataan itu mengandung esensi yang sama: pendidikan berlangsung seumur hidup.
Pertanyaan lebih jauh muncul lagi, yaitu seunur hidup itu apa maksudnya? Apakah sejak lahir sampai meninggal? Atau sejak adanya hidup. Bila sejak adanya hidup itu berarti pendidikan itu dimulai sejak janin hidup di dalam rahim. Jadi ada pendidikan pranatal dan dilanjutkan setelah natal.
Baiklah kita ambil satu kesimpulan saja: pendidikan berlangsung seumur hidup dengan mengesampingkan apakah dimulai sejak dalam rahim atau setalah lahir. Persoalan yang perlu dibahas sedikit ialah mengapa pendidikan itu berlangsung seumur hidup.
Jawaban terhadap pertanyaan itu terletak pada pandangan kita tentang hakikat pendidikan dari segi lain. Tadi dikatakan pendidikan ialah pertolongan. Segi lain menyatakan bahwa pendidikan ialah segala yang mempengaruhi seseorang. Nah, dari segi ini memang benar, tidak boleh tidak, pendidikan harus berlangsung seunur hidup karena manusia selama masih hidup ia selalu mendapat pengaruh dari berbagai pihak. Segi lain lagi ialah ini: pendidikan ialah usaha menolong orang agar ia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jadi, selama manusia masih menghadapi masalah yang harus diselesaikan selama itu pula ia masih menjalani pendidikan, sementara itu manusia tidak pernah tidak menghadapi masalah. Jadi, karena manusia selalu menghadapi masalah maka ia selama itu pula memerlukan pendidikan.

Artikel Populer

MASALAH YANG TIDAK PERNAH SELESAI

Oleh : Tiara Eka Saputri


Pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah selesai. Pendidiakn selalu terasa tidak pernah memuaskan. Pendidikan selalu dibicarakan. Pendidikan bahkan selalu menjadi bahan perdebatan. Apakah Anda mengira pendidikan di negara yang disebut sudah maju tidak pernah lagi membicarakan pendidikan mereka? Apakah mereka sudah betul-betul puas terhadap pendidikan mereka? Tidak, orang-orang di negara maju pun masih mengkritik keadaan pendidikan di negara mereka. Mengapa manusia tidak pernah puas terhadap pendidikan yang ada?
Semua orang mengambil bagian bila yang dibicarakan pendidikan. Itu mudah dipahami. Karena semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Orang yang ingin memperbaiki seseorang, sekelompok orang, sesuatu negara, dan bahkan dunia, pasti akan melakukannya, langsung atau tidak langsung, melalui pendidikan. Orang yang akan merusak negara juga akan melakukannya melalui pendidikan. Orang yang mengerti pendidikan tentu akan ikut bicara pendidikan. Orang yang tidak tahu apa-apa tentang pendidikan juga ikut berbicara tentang pendidikan karena anak dan turunannya telah dan akan mengikuti pendidikan. Pendidikan adalah masalah bersama, semua orang berkepentingan dengan pendidikan.
Berbeda halnya bila yang dibicarakan masalah pabrik nuklir, sekalipun juga menyangkut masalah bersama tetapi tidak setiap orang akan ikut membicarakannya. Berbeda juga dengan masalah sampah, toh tidak setiap orang ikut membicarakannya, sekalipun setiap orang bersangkutan dengan sampah. Adapun pendidikan, semua orang membicarakannya, mencercanya, mengutuknya, tidak puas terhadapnya tetapi ia tetap saja menyerahkan pendidikan anaknya ke lembaga pendidikan. Amat jarang terdengar orang memuji pendidikan.
Itulah sebabnya pendidikan tidak pernah selesai. Dan tidak pernah selesai dibicarakan. Mengapa? Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik. Ia menginginkan pendidikan yang lebih baik sekalipun belum tentu ia tahu mana pendidikan yang lebih baik itu. Karena sudah fitrah manusia, maka penyebab pertama ini tidak dapat dibahas lebih lanjut. Jadi, sudah takdirnya pendidikan itu tidak pernah selesai.
Kedua, karena teori pendidikan -dan teori pada umumnya- selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah, maka kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu maka masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang ada.
Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya. Suatu ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya. Tiga penyebab itu intinya ialah sifat manusia yang tidak pernah puas.
Watak tidak pernah puas itu pernah dibahas secara mendasar oleh J.P. Sartre, filosof eksistensialis Perancis. Katanya, salah satu sifat dasar manusia ialah tidak pernah puas; yang ia inginkan ialah yang belum ada sedangkan yang ada bukanlah yang diinginkannya. Inilah salah satu takdir manusia, kata Sartre. Sartre berhasil membongkar sifat tidak pernah puas itu tetapi ia tidak berhasil menemukan jalan keluarnya. Katanya, watak tidak pernah puas itu akan menyebabkan manusia menderita, itu dapat diakhiri dengan bunuh diri.
Agama juga membenarkan adanya sifat tidak puas itu, gunanya ialah agar manusia selalu maju, selalu berusaha menjadi lebih baik. Tetapi, bila perbaikan atau kemajuan itu tidak tercapai agama-agama mengajarkan agar manusia dengan sadar menerimanya, wajib mensyukurinya, dan bukan mengakhirinya dengan bunuh diri. Jadi, jika tidak puas dengan keadaan suatu pendidikan, ya, kita carikan jalan perbaikannya, sementara yang telah ada itu -sekalipun belum memuaskan kita- wajib kita syukuri. Bukan dengan mengutuk terus menerus.
Bagaimana memperbaiki pendidikan? Lazimnya perbaikan pendidikan dilakukan dengan mengkaji ulang pendidikan pada tingkat filsafat, pada level ini dilakukan renungan mendalam yang universal di mana pendidikan dihubungkan dengan segala sesauatu yang ada dan yang mungin ada; pemikiran mendalam, universal dan bersifat umum ini selanjutnya diturunkan pada level kedua yaitu filsafat pendidikan. Pada leval dua ini pendidikan itu dipikirkan secara mendalam dan universal tetapi terfokus pada masalah pendidikan yang akhirnya muncul dalam bentuk paradigma baru tentang pendidikan. Renungan-renungan mendalam tentang pendidikan ini selanjutnya diturunkan pada level ketiga yaitu penyusunan dan pembangunan kembali teori-teori ilmu pendidikan yang disesuaikan dengan paradigma yang telah dihasilkan pada level dua. Setelah itu barulah didisain model-model pendidikan yang sejalan dengan teori ilmu pendidikan yang baru tersebut. Inilah cara yang benar dalam memperbaiki pendidikan. Tentu saja itu dilakukan oleh ahli pendidikan.
Apa yang kita lihat selama ini? Terlalu banyak orang ikut berbicara tentang pendidikan. Bila yang berbicara tentang pendidikan itu bukan orang penting, artinya bukan pemegang kekuasaan, bukan pembuat keputusan yang mengikat publik, itu baik-baik saja. Itu dapat menjadi bahan dalam perenungan pendidikan pada tingkat filsafat pendidikan. Yang berbahaya ialah bila orang yang berbicara itu adalah pemegang kekuasaan, pembuat kebijakan. Itu yang pertama.
Yang kedua, kita seringkali menyaksikan perbaikan pendidikan secara tambal sulam. Misalnya, lulusan kurang cinta negara, lantas buru-buru pelajaran civic ditambah jamnya. Adakan pelatihan guru civic. Orang melihat murid-murid sekolah malas shalat atau ke gereja, orang buru-buru menambah jam pelajaran agama, penataran guru agama, mencetak buku paket. Ada gejala anak-anak sering merusak lingkungan, lantas buru-buru diberi palajaran cinta lingkungan. Perbaikan pendidikan dengan cara demikian (cara tambal sulam, ad hoc) sebenarnya tidak pernah dianjurkan dalam Ilmu Pendidikan. Tapi aneh ya, cara seperti itu sering sekali ditempuh.
Pernah ada seorang tokoh level nasional berteriak di salah satu kampus perguruan tinggi: "Mengapa SMA kita terlalu banyak mata pelajarannya, coba tiga atau empat saja, tentu mutunya akan hebat." Kalimat beliau ini menjelaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang pendidikan. Tetapi tidak apa-apa, toh tadi sudah dikatakan bahwa setiap orang boleh bicara tentang pendidikan, dan itu baik. Tetapi bila teriakan tokoh itu akan kita pertimbangkan, tentunya itu dilakukan menuruti prosedur yang disebut di atas tadi, yaitu pikirkan secara filsafat, lalu filsafat pendidikan, dilanjutkan ke tingkat ilmu pendidikan, bukan lantas buru-buru mengubah kurikulum SMA hanya dengan empat mata pelajaran.