Nenekku Seorang Filsuf
(by La Muni’)
Kekayaan khazanah bahasa bugis menunjukkan betapa orang-orang bugis tidak dapat disepelekan dalam pentas sejarah perkembangan bahasa-bahasa dunia. Dapat diklaim bahwa bahasa bugis sejajar dengan bahasa-bahasa besar dunia lainnya. Indikasinya adalah bahasa bugis memiliki bentuk huruf sendiri (yang disebut: lontara atau hurupu sulapa eppa) yang berbentuk segi empat. Huruf Lontara sejajar dengan bentuk huruf yang telah dikenal saat ini, yaitu huruf Arab, huruf Latin, huruf China, huruf Pallawa, dan -tentu saja- huruf Lontara (huruf Bugis).
Huruf Kanji (Jepang)- misalnya- adalah bentuk yang diambil dari huruf China. Huruf jawa (kawi) merupakan turunan dari huruf Pallawa (bahasa Sansekerta), dan huruf latin yang kita kenal dewasa ini pun merupakan turunan dari huruf Latin sendiri. Tetapi orang bugis ternyata memiliki bahasa dan sistem simbol bahasa tulis sendiri yang dikenal dengan huruf Lontara.
Karena itu, sepanjang yang penulis ketahui, bahasa bugis merupakan satu dari lima bahasa yang memiliki sistem simbol bahasa tulis sendiri, selain bahasa china, Pallawa, Arab dan Latin. Hal ini juga mengindikasikan kalau orang bugis memiliki tradisi berpikir yang kuat dan menghasilkan karya luar biasa. Bisa dikatakan bahwa orang-orang bugis sejajar dengan filsuf-filsuf besar lainnya seperti Plato, Socrates, Hegel dan berbagai filosof besar lainnya di dunia.
Masalahnya kemudian adalah betapa sulitnya mengidentifikasi para “filsuf-filsuf” bugis tersebut. Karya-karya tulis mereka sulit dilacak (selain karena waktu itu belum ada penerbit …????heheheh…), juga karena para orang tua itu menyimpannya dalam bentuk cerita turun temurun. Karena itu, naskah-naskah kuno yang ditulis dengan huruf Lontara sangat sedikit. Bahkan karya terbesar yang tersimpan “hanya” lontara I La Galigo; itupun naskah aslinya ada di negeri Belanda.
Namun demikian, toh bukti-bukti itu tetap lestari sampai sekarang. Bahasa dan huruf bugis masih bisa kita temukan, hanya saja melestarikannya tentu menjadi tugas para “orang-orang bugis muda”.
Jaji Idi’…..?????
(by La Muni’)
Kekayaan khazanah bahasa bugis menunjukkan betapa orang-orang bugis tidak dapat disepelekan dalam pentas sejarah perkembangan bahasa-bahasa dunia. Dapat diklaim bahwa bahasa bugis sejajar dengan bahasa-bahasa besar dunia lainnya. Indikasinya adalah bahasa bugis memiliki bentuk huruf sendiri (yang disebut: lontara atau hurupu sulapa eppa) yang berbentuk segi empat. Huruf Lontara sejajar dengan bentuk huruf yang telah dikenal saat ini, yaitu huruf Arab, huruf Latin, huruf China, huruf Pallawa, dan -tentu saja- huruf Lontara (huruf Bugis).
Huruf Kanji (Jepang)- misalnya- adalah bentuk yang diambil dari huruf China. Huruf jawa (kawi) merupakan turunan dari huruf Pallawa (bahasa Sansekerta), dan huruf latin yang kita kenal dewasa ini pun merupakan turunan dari huruf Latin sendiri. Tetapi orang bugis ternyata memiliki bahasa dan sistem simbol bahasa tulis sendiri yang dikenal dengan huruf Lontara.
Karena itu, sepanjang yang penulis ketahui, bahasa bugis merupakan satu dari lima bahasa yang memiliki sistem simbol bahasa tulis sendiri, selain bahasa china, Pallawa, Arab dan Latin. Hal ini juga mengindikasikan kalau orang bugis memiliki tradisi berpikir yang kuat dan menghasilkan karya luar biasa. Bisa dikatakan bahwa orang-orang bugis sejajar dengan filsuf-filsuf besar lainnya seperti Plato, Socrates, Hegel dan berbagai filosof besar lainnya di dunia.
Masalahnya kemudian adalah betapa sulitnya mengidentifikasi para “filsuf-filsuf” bugis tersebut. Karya-karya tulis mereka sulit dilacak (selain karena waktu itu belum ada penerbit …????heheheh…), juga karena para orang tua itu menyimpannya dalam bentuk cerita turun temurun. Karena itu, naskah-naskah kuno yang ditulis dengan huruf Lontara sangat sedikit. Bahkan karya terbesar yang tersimpan “hanya” lontara I La Galigo; itupun naskah aslinya ada di negeri Belanda.
Namun demikian, toh bukti-bukti itu tetap lestari sampai sekarang. Bahasa dan huruf bugis masih bisa kita temukan, hanya saja melestarikannya tentu menjadi tugas para “orang-orang bugis muda”.
Jaji Idi’…..?????